Aspek pendidikan dalam berbagai kehidupan masyarakat di dunia tidak dapat dilepaskan dari pola budaya dan latar belakang sejarah masing-masing bangsa. Dualisme dalam dunia pendidikan kita dalam kaitannya dengan kebudayaan dapat kita lihat dari fungsi pendidikan yang berperan sebagai proses transformasi kepribadian menuju kematangan manusia ( pendewasaan manusia). Tetapi di sisi lain pendidikan dapat berfungsi sebagai pewarisan nilai-nilai budaya masyarakatnya serta mempertahankan kepribadian kolektif masyarakat (Nasionalisme).
Disadari juga bahwa bangsa Indonesia secara historis mengalami masa penjajahan / kolonialisasi oleh Barat yang berjumpa dengan pola-pola warisan berbagai ajaran keagamaan, seperti Islam klasik, Hinduisme dan Budhisme secara dialektik. Dari kenyataan tersebut dapat kita analisis bahwa hal tersebut membawa dampak positif dan negatif terhadap pola pendidikan di Indonesia. Pola pendidikan barat menekankan pada “individualisme” yang men-eliminasi semangat kolektivisme dan sekaligus melaksanakan garis kebijaksanaan penjajah yang tidak menghargai penduduk pribumi, yang mereka anggap masih primitif, yang kemudian membawa dampak terhadap bangkitnya kesadaran dan semangat nasionalisme untuk melawan penjajah.
Di sisi lain, agama –agama seperti Islam klasik, Hinduisme dan Budhisme setelah megalami proses dialektis dan sintesis telah mewujudkan masyarakat piamidal yang hirarkis (baca berkelas) dalam pembentukan institusi pendidikan yng berjiwa religius dalam menegakkan apa yang disebut oleh Chumaidi syarief dengan istilah “Religio – Feodalisme” (feodalisme yang dibungkus dengan nilai-nilai agama). Konsekwensi logis yang dipikul oleh masyarakat adalah bangkitnya kelas-kelas awam dan kelas atas yang merupakan kelas penentu potret pendidikan Indonesia saat ini.
Ketimpangan-ketimpangan nilai di atas, secara terus menerus dan tanpa kita sadari telah membentuk konflik nilai pada masa sekarang, karena pendidikan yang bercorak “otoriter” warisan kolonial dan hasil ciptaan agama-agama yang disebutkan di atas sangat berpihak pada kepentingan “kaum atas” dan meniadakan otoritas sosial dari masyarakat kelas bawah (baca orang miskin). Dari perspektif politik, hal ini dapat melahirkan pola pendidikan yang bercorak “hegemonik”.
Pendekatan Strukturalisme dalam Pendidikan
Secara sosiologis, pendidikan adalah sebuah proses interaksi antara pendidik dengan subjek didik. Namun dilihat dari sudut pandang strukturalisme, orientasi dari interaksi diletakkan pada fungsi dan kedudukan pelaku itu sendiri. Oleh karena itu “kekerasan” dalam pendidikan dapat diartikan bahwa perilaku tersebut lahir dalam struktur yang bercorak hegemonik, sebagai sebuah kejahatan dan kekerasan yang merupakan produk dari struktur yang telah ada.
Akumulasi dari kekuasaan sosio- politik yang bercorak hegemonik melahirkan struktur masyarakat pendidikan yang sangat hirarkis (berkelas), di mana lapisan yang tertinggi (feodal – paternal) menghasilkan ketimpangan “potensi” dalam masyarakat didik sehingga terwujud adanya ketimpangan “kapabilitas”, “kepercayaan diri” dan bahkan penguasaan otoritas kepribadian subjek didik. Disamping itu masyarakat didik kehilangan otonomisasi kemandirian yang rentan terhadap adanya eksploitasi – penindasan, baik sosial, politik, ekonomi, dan bahkan adanya pemerataan proses pembodohan suatu generasi subjek didik. Sering kita dengar digaungkan adanya pengembangan SDM, akan tetapi yang terjadi adalah proses pembodohan sistemik. Di berbagai jenjang pendidikan diterapkan sistem “pendidikan terpadu”, namun sebenarnya yang berjalan hanya proses “pembelajaran” yang mengebiri hakikat dari pendidikan yang sebenarnya. Begitu pula pada tataran masyarakat religius Islam, seperti majelis ta’lim tumbuh subur bak cendawan di musim hujan, namun peningkatan pemahaman umat tidak bergeser dari semula.
Menarik memang melihat pola pendidikan yang berlaku dalam masyarakat religius, kemungkinan akan terjadinya letupan generasi didik untuk melakukan “pemberontakan” intelektual terhadap proses pendidikan yang sudah berjalan agak sulit, karena para ulama, ustadz, pendeta, biksu, romo dan kekuasaan politik bersatu padu dalam mempertahankan eksistensi dirinya secara hegemonik. Maka dalam kondisi seperti ini jangan berharap akan lahirnya perubahan dan pencerahan baru yang mampu merubah wajah dunia pendidikan di Indonesia.
Distorsi tentang pendidikan akan lahir bilamana tujuan pendidikan yang ideal bagi masyarakat tidak dapat terlaksana atau terwujud sebagaimana tuntunan zaman. Kekuatan-kekuatan birokrasi sangat dominan dalam pelaksanaan pendidikan buat masyarakat. Sehingga berakibat munculnya ketidakpuasan dalam masyarakat terdidik. Karena itu tuntutan masyarakat untuk dapat memenuhi pelayanan pendidikan yang ideal kadang-kadang dilakukan dengan nuansa kekerasan. Beberapa tahun yang lalu dan bahkan sampai sekarang, tuntutan terhadap perbaikan sistem pendidikan sangat gencar, ada yang dengan melakukan demonstrasi, sebagai bentuk protes bagi penyelenggaraan pendidikan yang berwajah penindasan, kekerasan, eksploitatif, dan hegemonik oleh para penguasa atau pengelola pendidikan. Ada pula yang bermain pada tataran legislatif di parlemen yang berupaya merubah wajah pendidikan melalui proses amandemen UU yang berkaitan dengan persoalan pendidikan.
Itu semua merupakan usaha maksimal masyarakat yang menghendaki dan merindukan terwujudnya dunia pendidikan yang ideal, yaitu pendidikan yang berwajah humanis untuk subjek didiknya. Sehingga mampu melahirkan generasi baru Indonesia yang cerdas secara keilmuan dan cerdas secara moral dan memiliki keahlian di bidangnya masing-masing.
Bangkitlah dunia pendidikan negeriku, jayalah generasi bangsaku!.
Baca juga:
Baca juga:
No comments:
Post a Comment