Tuesday, October 30, 2012

Anak Putus Sekolah

7.041 Anak di Depok Tidak Sekolah

Marieska Harya Virdhani
Senin, 29 Oktober 2012 18:13 wib
Ilustrasi: anak-anak usia wajib belajar. (Foto: dok. Okezone)
Ilustrasi: anak-anak usia wajib belajar. (Foto: dok. Okezone)
DEPOK - Sebanyak 7.041 anak usia tujuh sampai 13 tahun di Kota Depok diketahui tidak sekolah. Padahal dalam penilaian Adipura, Kota Depok masuk dalam kategori sebagai Kota Metropolitan atau Kota besar.

"Benar, ada 7.041 anak usia sekolah tidak bisa sekolah. Ini merupakan tanggung jawab bersama. Perlu partisipasi dari semua elemen masyarkat untuk menanggulanginya," ujar Wakil Wali Kota Depok Idris Abdul Shomad, Senin (29/10/2012).

Karena itu, Idris telah memerintah seluruh stakeholder mulai dari camat, lurah, guru dan masyarakat melakukan inventarisasi untuk mendata keberadaan anak yang tidak sekolah tersebut. "Saya instruksikan camat, lurah, dan guru untuk segera mendata anak-anak tersebut," pinta Idris.

Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok Muhammad Nurdin mengatakan, pihaknya tengah melakukan pendataan dan akan memetakan terlebih dahulu menjadi dua kelompok, yaitu yang masuk pendidikan normal, dan nonformal. Untuk nonformal biasanya sudah melewati batas usia 19 tahun. Kategori nonformal akan dimasukkan dalam program pendidikan paket A dan C. Sedangkan yang formal akan dimasukkan dalam kegiatan proses kegiatan belajar mengajar biasa. "Kita minta para kepala UPT bersama kelurahan dan kecamatan mendata terlebih dahulu. Kalau sudah konkret baru kita selesaikan," janji Nurdin.

Saat ini, kata Nurdin baru dilakukan pemetaan, dan belum ada data riilnya. Salah satu contoh ditemukan di RW 03, Kelurahan Leuwinanggung, sebanyak 25 warga tidak sekolah. Namun setelah dilakukan pendataan ternyata 20 orang berusia 70 tahun, sedangkan sisanya sebanyak 15 orang berusia di bawah 40 tahun.

"Jadi, hanya 15 orang yang kami bina," tuturnya.(rfa)

Tuesday, October 9, 2012

Melihat Sisi Sosial dari Ajaran Agama




Layaknya sebuah agama, Islam memiliki dua dimensi yang kerap diangkat di permukaan. Yaitu sisi individu pengikutnya dengan Tuhan dan sisi sosialnya kepada sesama makhluk-Nya. Sisi Individu biasanya berupa hubungan vertikal seorang hamba secara langsung kepada Sang Khalik, sementara dimensi sosial lebih mengarah kepada bagaimana pengejawantahan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengangkat mengenai pentingnya umat beragama, khususnya umat Islam untuk mengedepankan dimensi sosial dari ajaran agamanya. Sehingga agama akan kelihatan fungsinya sebagai alat perubahan untuk kesejahteraan umat manusia secara universal.
Dalam ayat Al Qur’an (Al Ma’un: 1-2) misalnya, Tuhan mengutuk orang yang beragama tanpa menghiraukan kondisi lingkungannya, sebagai orang yang telah mendustakan agama. Bahkan Dia – Tuhan mengutus para nabi untuk mengajarkan umatnya masing-masing tentang pentingnya memperhatikan dan mengayomi sesamanya. Maka dalam sebuah hadis yang masyhur, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain”.

Menarik bila kita merenungi sabda nabi di atas. Beliau tidak katakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak rakaat shalatnya. Namun nabi lebih mengarahkan pandangannya kepada kemanfaatan umatnya kepada lingkungan social - kemasyarakatannya. Itu menandakan bahwa yang dimaksudkan oleh nabi adalah manusia yang unggul – manusia yang utama,  yaitu mereka yang banyak berkontribusi untuk kemaslahatan umat manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Di dalam Islam sebenarnya telah memberikan porsi yang sangat besar bagi mereka yang tidak mampu untuk mendapatkan pertolongan dan kasih sayang.  Layaknya manusia lainnya, mereka berhak untuk menikmati fasilitas yang sama yang telah dibentangkan oleh Tuhan di atas muka bumi-Nya ini. Misalnya yang berkaitan dengan Anak Yatim, Al Qur’an menyinggungnya sampai 23 ayat. Yang intinya agar setiap umat Islam mencurahkan kasih sayang, membantu, mendidik serta memeilihara mereka sebagaimana anak-anak mereka sendiri.  Al Qur’an menyebutkan bahwa berbuat baik kepada anak yatim dan dhu’afa merupakan salah satu tanda dari keimanan seseorang. Oleh karena itu, kepedulian terhadap mereka yang membutuhkan pertolongan atau uluran tangan merupakan kewajiban social dalam Islam.

Adalah KH. Ahmad Dahlan, pendiri ormas besar Islam Muhammadiyah di Indonesia, ketika mengkaji dan mengajarkan tentang surah Al Ma’un kepada para santrinya, beliau tak segera pindah ke surah yang lain. Pada hal murid-muridnya merasa sudah menghafal, dan meminta untuk lanjut ke surah berikutnya. Apa jawab Pak Kiai? Baik, kalian memang benar  telah menghafal dan tau maknanya. Tetapi, bukankah surah ini memiliki arti khusus? Bahkan bernada mengancam kepada setiap orang yang beragama sebagai “Pendusta Agama” bila menelantarakan anak yatim dan fakir miskin. Apakah ada di antara kita semua yang sudah betul-betul mengamalkan surah Al Ma’un ini? Semuanya terdiam dan tak ada satu pun yang berani menjawab. Betapa pentingnya sebuah tindakan sosial dalam beragama, sehingga KH. Ahmad Dahlan mewanti – wanti kepada para santrinya untuk benar-benar mengamalkan isi dan kandungan dari surah Al Ma’un ini. Karena dengan cara itulah menurut Pak Kiai Dahlan, umat Islam akan bisa bebas dari ancaman Tuhan sebagai “Pendusta Agama”.

Hampir semua anjuran ibadah dalam Islam mengandung nilai sosial di dalamnya. Misalnya ayat yang mewajibkan ibadah shalat, selalu digandengkan dengan perintah menunaikan zakat. Itu menandakan bahwa ibadah shalat yang sifatnya vertikal, pada akhirnya harus membawa pelaksananya kepada kesalehan sosial, yaitu membantu manusia lain yang kurang beruntung melalui zakat, sedekah dan infak. Selanjutnya, ibadah puasa Ramadhan yang sifatnya sangan individual, juga diakhiri atau ditutup dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah (zakat yang diwajibkan bagi setiap orang Islam, kecil maupun tua). Begitu pula, ketika kita melaksanakan perintah ibadah haji, juga diakhiri atau ditutup dengan ibadah qurban (menyembelih hewan qurban) sebagai bukti kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya. Dan ada lagi ibadah-ibadah lainnya yang bisa kita kaji secara mendalam tentang keterkaitan antara ibadah yang sifatnya individual dengan yang sifatnya sosial.

Bisa kita garis bawahi, bahwa berbuat kebajikan terhadap sesama manusia atau kepada makhluk lainnya, sama bobotnya dengan mendirikan shalat, berpuasa, dan menunaikan ibadah haji. Karena essensi dari semua ibadah yang telah dianjurkan oleh Tuhan, akan bermuara kepada penghargaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Di situlah makna penting sabda Nabi Saw. di atas, bahwa “Sebaik-baiknya manusia, adalah mereka yang bermanfaat buat manusia lainnya”.  Allahu a’lam.