Thursday, December 8, 2011

Spiritualitas ataukah Absurditas?

Layaknya semua agama memiliki dimensi eksoteris (Syari'ah) dan esoteris (hakikat). Dalam Islam, sisi spiritual dikenal dengan sebutan tasawuf. Yaitu mendalami ajaran Islam lewat pendekatan rasa (zauk) dalam rangka menjalin hubungan harmoni dengan Dzat Yang Maha Kasih.

Pendekatan tasawuf lazim dilakukan oleh para ahli sufi, karena dengan menempuh jalan tersebut mereka dapat merasakan kenikmatan dan kedamaian yang tiada tara. Bahkan dalam tataran-tataran. (Maqam) tertentu mereka kaum sufi "hadirnya" Tuhan dalam kalbunya. Kejadian ini biasanya disebut dengan "asyik dan ma'syuk" (yaitu bersatunya pecinta dengan yang dicintai, yakni Allah ajja wajalla). Tuhan pun menyambut mereka dengan cinta kasihNya yang luas sesuai dengan harapan para hamba yang melakukan perjalanan spiritual dengan sungguh. Inilah esensi dari tasawuf, yaitu seni merangkai cinta hanya kepadaNya.

Dalam rangka menghampiri Tuhan tentunya tidak semua orang akan mengalami keberhasilan. Dan banyak cara atau pendekatan yang bisa ditempuh dalam mendekatkan diri padaNya. Salah satunya adalah melalui pendekatan spiritual.

Pada era reformasi yang sudah berjalan hampir dari 11 tahun ini, fenomena spiritualitas di negeri ini mengalami kemajuan yang pesat. Dikatakan fenomena karena spiritualitas yang ada saat ini kadang muncul, pergi dan hilang dan bahkan tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Lalu apa itu spiritualitas dan apa yang menjadi ukuran spiritualis dan tidaknya seseorang dalam wacana ke-Islaman? Apakah yang menjadi ukurannya dari banyaknya jamaah yang mengikuti pengajian spiritual? Atau lebih kepada kesolehan dari figur tokohnya yang kharismatik?

Dari pertanyaan di atas, ada baiknya kita jelaskan satu persatu, pertama, pengertian spiritual. Spiritual memiliki dua arti yaitu ruhani dan intelektual atau juga bisa diartikan dzikir dan pikir. Dzikir dimaknai sebagai sarana untuk membersihkan jiwa dari gangguan-gangguan yang bisa menghambat kedekatan seorang hamba dengan sang Khalik. Sedangkan pikir adalah sarana untuk lebih menfungsikan potensi akal dalam rangka membaca dan memahami tanda-tanda kekuasaan Allah baik yang sifatnya tekstuil maupun kontekstuil. Dan spiritualitas adalah proses sinergisitas antara dua potensi yang dimiliki oleh manusia  yaitu hati dan akalnya. Inilah makna singkat dari kata spiritual tersebut. Dan spiritualisme adalah aliran filsafat yang mementingkan aspek kerohanian dan intelektual dan sekaligus merupakan anti tesis dari munculnya materialisme yang lama menjangkiti masyarakat barat. Jadi bisa disimpulkan bahwa tidak bisa dikatakan spiritualis sejati, orang atau tokoh yang hanya mengedepankan ritualitas keagamaan atau hanya mengamalkan amalan-amalan (wiridan) yang sifatnya rutinitas tanpa memiliki landasan berpikir yang kuat.

Kedua, apakah yang menjadi ukuran spiritualitas dalam wacana ke-Islaman? Apakah bisa dinilai dari banyaknya jamaah yang mengikuti pengajian spiritual? jawabannya tentu bukan!. Karena cara pandang seperti itu mengesankan bahwa umat Islam baru melaksanakan ajaran agama masih pada tataran "parifera"  (beragama pinggiran). Dalam artian kwalitas bukan menjadi prioritas utama dalam melakukan aktifitas ke-Islaman. Khususnya yang berkaitan dengan fenomena yang muncul akhir-akhir ini, seperti praktek-praktek ibadah dan kuliah-kuliah spiritual yang semakin menjamur saat ini.

Banyaknya praktek-praktek ibadah dan sajian spiritual tersebut, bukannya tanpa catatan, akan tetapi banyak melahirkan tesis-tesis baru yang sengaja digulirkan untuk menguji apa dan bagaimana motif dan latar belakang munculnya fenomena spiritualitas tersebut. Karena bukan hal yang mustahil, seperti tesis yang berkembang di barat bahwa suatu masyarakat yang sedang dihantam oleh berbagai multi krisis atau masyarakat yang sedang sakit secara moral akan mengalami alienasi (keterasingan diri). Sehingga mereka lari dari kenyatan hidupnya dan mencari sesuatu yang mampu memberikan kenyamanan dan ketenangan batin sebagai penawar dari krisis moral yang mereka alami. Fenomena seperti ini pernah juga dilamai oleh umat Islam pada abad pertengahan, di mana umat Islam pada saat itu digerogoti dengan berbagai penyakit moral yang kemudian menggiringnya pada kondisi kejumudan (baca kebuntuan berpikir secara rasional) . Dan efek dari kondisi ini melahirkan pergerakan-pergerakan yang mengatasnamakan spiritualitas sebagai bentuk protes atau alternasi dari mengemukanya praktek pemerintahan atau para penguasa yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya dengan bergaya hidup mewah atau hedonis (istilas yang lagi in untuk kalangan DPR saat ini). Yang akhirnya melahirkan tarekat-tarekat yang beragam ajaran dan gaya kepemimpinannya yang kharismatik.

Seperti yang dikemukakan Yinger, seorang sosiolog agama terkemuka, kekaguman yang berlebihan terhadap seorang tokoh akan membawa kita pada pengkultusan pada tokoh yang bersangkutan. Maka istilah cult (kultus) digunakan dalam berbagai cara yang berbeda, yang biasanya mengacu pada kelompok keagamaan berukuran kecil, yang mencari pengalaman mistik, memiliki struktur organisasi yang longgar dan ditambah dengan kepemimpinan yang kharismatik dari tokoh sentralnya. Pada sisi tertentu cult sama dengan seet (sekte) dalam pengertian bahwa keduanya merupakan sempalan "paling ekstrem" dari tradisi keagamaan dominan dalam masyarakat.

Dengan demikian, kelompok sempalan dianggap menyimpang dari agama dominan di masyarakat, berumur singkat dan sering berkembang di sekitar pemimpin yang dominan (kharismatik - holy man). Biasanya ajaran sang tokoh akan mati bersamaan dengan redupnya pamor atau ketika dia wafat. Praktek beragama seperti ini, merupakan pola beragama pinggiran atau meminjam istilahnya almarhum Nurcholish Madjid dengan istilah agama parifera - pinggiran. Yaitu beragama yang absurd (mengada - ada ). Dan absurditas adalah merupakan perbuatan yang sia-sia dan tidak punya nilai. Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment