Monday, December 26, 2011

Bekerja Adalah Cara untuk "Bertemu" Tuhan!



“Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu....” (QS. Al Taubah:105)

Kerja merupakan salah satu bentuk  jihad yang besar dalam kehidupan beragama, khususnya dalam Islam. Banyak sekali kita temukan ayat maupun hadits yang sangat menganjurkan umat Islam untuk bekerja. Misalnya melalui ayat di atas, Allah memakai kata perintah – bekerjalah! Menandakan bahwa bekerja itu adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang yang beragama dalam mengisi hidupnya. Sebab dengan bekerjalah manusia akan mampu mempertahankan eksistensi hidupnya di atas bumi ini. Ayat lain misalnya, Allah berfirman:”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dan carilah karunia Allah.....” (QS. Al Jumu’ah:10). Dua ayat ini memang secara eksplisit seakan-akan “mencambuk” kita semua untuk tidak bermalas-malasan dalam bekerja mencari rejeki Tuhan.

Dalam Islam, bekerja itu merupakan ibadah. Dengan demikian, bekerja apapun bentuknya harus dilandasi dengan sikap untuk beribadah kepada Tuhan. Sehingga bekerja tidak bisa dilepaskan dari dimensi ibadah. Itulah yang disebut oleh Prof. DR. Sayyed Hossein Nasr sebagai “Etika Kerja Islami”.

Dalam analisisnya, Nasr berhasil mengelaborasi di mana etika kerja telah menjadi komitmen generasi Muslim awal dengan meletakkan prinsip-prinsip etika kerja secara Isami. “Untuk memahami etika kerja  Islami, saling kait-mengkait antara kerja, ibadah dan bahkan apa yang di dunia modern dikenal dengan leisure time sangatlah penting”, Komentar Nasr. Maka tidak berlebihan jika bekerja adalah juga ibadah. Apapun bentuknya dari pekerjaan kita, jika diniatkan untuk menjalankan perintah Tuhan, maka pekerjaan tersebut dengan sendirinya akan mempunyai nilai ibadah. Dan bekerja bisa disebut sebagai “Panggilan Tuhan”, yang dengan sebab bekerja seorang muslim dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya. 

Dengan memahami bekerja sebagai “Panggilan Tuhan”, akan memberikan dampat yang positif bagi perkembangan etos kerja umat Islam bahkan umat agama lain yang bersinggungan dengan mereka. Sebab dengan perubahan paradigma seperti ini, umat Islam akan semakin memiliki semangat (ghirah) yang kuat untuk mengekplorasi potensi dirinya ke arah yang lebih maju.

Menurut Prof.DR. Nurcholish Madjid, bekerja itu adalah menjadi pertanda keberadaan manusia di atas muka bumi ini. Yakni, bahwa bekerja, amal, atau praktis adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia. Artinya manusia ada karena bekerja, dan kerja itulah yang mengisi atau membuat eksistensi kemanusiaan. Jadi, jika failasuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan slogan “Aku berfikir, maka aku ada (Cogito ergo sum-Latin) karena memang berpikir baginya adalah bentuk wujud manusia. Maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, slogan itu seharusnya berbunyi: “Aku bekerja, maka aku ada”.

Pandangan ini amatlah penting dalam ajaran Islam, misalnya kitab Al Qur’an menegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun, melainkan apa yang ia usahakan sendiri. “Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci nabi Musa? Dan nabi Ibrahim yang setia? Yaitu, bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklan bagi manusia itu, melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan kepadanya, kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmulah tujuan penghabisan”. (QS. An Najm:36-42).

Memahami ayat di atas, membawa kita untuk memahami betapa pentingnya bekerja bagi manusia, karena dengan bekerjalah manusia akan memiliki nilai dan harga di mata Tuhan dan di hadapan umat manusia lainnya. Bahkan dengan bekerja pula, Tuhan menegaskan kepada kita bahwa .... “bagi siapa yang benar-benar berharap bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah ia berbuat baik.....”. (QS. Al Kahfi: 110). Arti berbuat baik pada ayat ini, adalah bekerja yang positif – melakukan kreasi-kreasi baru untuk kemaslahatan umat manusia secara universal.

Nabi yang Agung bersabda dalam sebuah haditsnya yang sangat populer: ”Bekerjalah kamu untuk duniamu, seakan-akan kamu akan hidup untuk selamanya. Dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu, seakan-akan kamu mati esok hari”.

Sebagaimana ayat-ayat di atas, hadits nabi ini pun mengajarkan kepada kita akan pentingnya nilai kerja dalam Islam, yang disertai dengan kesungguhan dan fokus terhadap apa yang kita lakukan. Di samping itu, umat Islam tidak boleh menganggap enteng, sekecil apa pun bentuk pekerjaan yang dilakukan. Ia harus memberi makna terhadap pekerjaannya itu, sehingga menjadi bagian integral dalam seluruh aktivitas hidupnya di dunia. Karena bekerja merupakan sarana untuk beribadah atau bertemu dengan Tuhan.

 Selamat bekerja saudaraku!

Saturday, December 24, 2011

Ayo Peduli Anak Melalui Pendidikan


Awalnya tahun 2002, saya bersama teman-teman yang bergabung di Yayasan Sekolah Rakyat Bogor, memulai kegiatan pendidikan untuk anak-anak di pedalaman Kabupaten Bogor dan bergerak secara bersama-sama untuk peduli terhadap nasib mereka, khususnya bagi Anak-anak usia SMP agar mendapatkan akses pendidikan yang layak. 

Saya sendiri tinggal di Jakarta dan memulai menjalankan program Yayasan di daerah Caringin Kabupaten Bogor. Pasnya di Desa Tangkil yang letaknya memang agak jauh dari akses luar. Untuk menuju Desa Tangkil, kita harus naik lebih kurang 7 Km lagi dari jalan raya Sukabumi. Sementara jarak rumah penduduk dengan lokasi sekolah lebih kurang 15 Km. Itulah yang menjadi alasan bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil yang ada di Kabupaten Bogor tidak menyekolahkan anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan ada pengelola Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) kami yang letaknya di Rumpin,  jarak rumah penduduk dengan sekolah SMP lebih kurang 40-50 Km. Jauh sekali memang dan kalau mau sekolah anak-anak harus naik ojeg dan sekali jalan harus merogoh kantongnya untuk biaya ojeg Rp.50.000 sekali jalan.

Alasan lainnya yang sangat menonjol adalah persoalan ekonomi. Orang tua anak-anak ini memang rata-rata bekerja sebagai kuli cangkul atau bertani di kebun mereka yang semuanya tadah hujan. Karena ladang mereka berada pada dataran yang tinggi, maka untuk mendapatkan air buat siram tanamannya, mereka harus menarik pipa belasan kilo dari sumber mata air yang ada di gunung. Sehingga bagi petani yang tidak punya modal, mustahil akan mampu mendapatkan hasil kebun yang optimal tiap tahunnya.
Lalu berapa kira-kira penghasilan mereka per hari? Hampir bisa dipastikan pendapatan orang tua mereka berkisar antara Rp.30.000 – Rp.50.000 per hari. Sementara mereka harus menghidupi 3-5 Orang anak dalam satu keluarga (maaf, KB kurang diminati soalnya. Hehehe).

Alasan lainnya yang sangat menonjol sampai sekarang adalah budaya yang berlaku di masyarakat mengenai kurangnya pemahaman orang tua akan pentingnya pendidikan. Bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pedalaman Kabupaten bogor, dan bahkan mungkin berlaku untuk seluruh masyarakat pelosok yang ada di Indonesia, masih menganggap bahwa pendidikan itu bukan hal yang terlalu penting untuk Anak-anak mereka. Orang tua masih menganggap bahwa mencari uang jauh lebih utama bagi anak-anak dibandingkan bersekolah. Karena dengan sekolah akan menghalangi anak-anak mereka untuk bisa mendapatkan uang dan tidak bisa membantu mereka mempunyai penghasilan tambahan. 

Kaitannya dengan hal di atas, saya pernah punya pengalaman yang menarik dengan salah satu wali murid yang belajar di SMP Gratis yang kami kelola di Sekolah Rakyat. Ceritanya, pada suatu siang saya iseng datang ke ladang dan berdialog dengan salah satu wali murid kami yang anaknya memang sudah jarang masuk sekolah. Kemudian saya sengaja mendatangi orang tuanya di ladang yang sedang asyik bekerja, lalu terjadilah dialog singkat antara saya dengan wali murid tersebut.

Saya mulai bertanya tentang aktifitas anaknya selepas jam sekolah, apa saja yang dia lakukan? Lalu sang bapak inipun mulai bercerita dengan tidak banyak bicara alias langsung pada intinya, bahwa anaknya terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena kerbau dan kambing yang mereka miliki tidak ada yang mengambilkan rumput (bahasa beliau tidak ada yang ngangon kerbau dan kambing pak munawar). Saya pun tersenyum mendengar alasan yang diberikan oleh sang bapak itu. Kemudian saya mencoba memberikan solusi kepada beliau, sambil menyampaikan pendapat dengan harapan akan diikuti.... Bapak, bagaimana kalau anak bapak tetap sekolah saja dan mengambil rumputnya setelah pulang sekolah? Beliau tetap saja pada pendiriannya bahwa anaknya sangat dibutuhkan di ladang untuk mencari rumput kerbau dan kambingnya.

Potret sang bapak di atas, kalau mau jujur masih banyak kita jumpai di berbagai daerah pelosok negeri. Mungkin juga masih menjadi cara pandang yang berlaku umum di masyarakat kebanyakan. Tapi apapun itu, kita tetap harus memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan dan akses buat anak-anak pedalaman ini agar tetap bisa sekolah. Karena pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa untuk melihat kemajuannya di masa yang akan datang. Bahkan hemat saya, untuk memulai reformasi dan merubah kondisi bangsa agar lebih baik lagi, harus lewat pendidikan. Yaitu dengan mendidikan SDM yang handal. Tengoklah negara-negara tetangga kita yang sudah sukses. Misalnya Malaysia, Piliphina, Singapura, Australia dan lainnya, mereka menjadikan dunia pendidikan sebagai “Panglima” bagi start poin perubahan. Dan untuk kasus kita di Indonesia tidak jelas arahnya ke mana dunia pendidikan kita dibawa. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan telah menggiring kita semua pada “komersialisasi dunia pendidikan” itu sendiri. Sehingga semakin nyata kesenjangan antara anak-anak orang kaya dan anak mereka yang miskin. Semuanya bisa dilihat dan dinilai di mana mereka bersekolah. Dengan dalih kualitas, maka lembaga-lembaga pendidikan ramai-ramai menaikkan biaya sekolah setinggi langit.

Apapun alasannya, harusnya lembaga pendidikan yang berkualitas tersebut, bisa dinikmati dan menjadi tempat belajar juga buat anak-anak yang tidak mampu untuk menuntut ilmu. Karena akses untuk mendapatkan pendidikan yang memadai dan berkualitas itu, merupakan hak bagi segenap rakyat Indonesia dan sudah dijamin oleh konstitusi kita (UUD 45). Dan untuk mewujudkan pendidikan yang setara bagi seluruh masyarakatnya, sudah saatnya para pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini memiliki kemauan politik - Political Will untuk melakukan perubahan mendasar terhadap pola dan sistem pendidikan di Indonesia. Tanpa itu, semua gerakan atau upaya yang sudah dilakukan oleh masyarakat yang menghendaki peningkatan mutu dan kesetaraan akses pendidikan bagi semua anak bangsa, akan sia-sia. Karena belum sepenuhnya ditopang oleh pemerintah sebagai pelaksana penuh dari isi konstitusi kita.








Saturday, December 17, 2011

Keistimewaan Doa Rasulullah Saw.



“Do’a itu adalah kunci ibadah. Ada juga ungkapan yang berbunyi: Do’a adalah senjata bagi orang yang beriman”. (Hadis)

Berdoa merupakan sebuah bentuk komunikasi dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dengan penuh kepasrahan yang mendalam dan total. Karena sesungguhnya doa, adalah hakekat penghambaan seorang makhluk kepada Tuhannya. 

Orang yang beriman, merasakan ketenangan karena hatinya senantiasa dekat dengan Allah SWT. Ia memiliki senjata untuk menghadapi semua permasalahan dan kesempitan dunia, yaitu dengan kekuatan DOA. Orang yang beriman mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menghadapi setiap masalah dalam kehidupannya di dunia yang fana ini. Karena mereka mempunyai tempat untuk mengadu dan tempat untuk meminta pertolongan di kala susah,  DIA lah Allah Dzat Yang Maha Tinggi.

Setidaknya ada tiga keistimewaan dari cara penyampaian, pilihan kata dan gaya bahasa Rasulullah SAW yang bisa dituangkan dalam tulisan singkat ini, yang berkaitan dengan cara Rasulullah dalam berdoa, antara lain:
1.  Rasulullah SAW dalam berdoa, mendapatkan bimbingan langsung dari Allah. Sesungguhnya Nabi, sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang mengatakan: “Tuhanku telah membimbingku, maka Ia mengutamakan (menyempurnakan) bimbinganNya kepadaku”. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa Allah SWT membimbing Rasulullah SAW dari segala sesuatunya, termasuk cara menyampaikan ajaran-Nya.

2.  Rasulullah SAW dalam tiap doanya, memiliki fashahah yang tinggi. Fashahah dapat dipahami dengan kemampuan yang tinggi dalam menyampaikan sesuatu (Skilful use of expressive language). Fashahah Rasulullah mencakup berbagai hal seperti: Rangkaian kata yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan sesuatu merupakan rangkaian kata yang sederhana dan tidak berbelit-belit. Cara menyampaiakannya jelas dan tepat. Makna yang terkandung luas dan dalam. Rasulullah SAW tidk berpanjang-panjang dalam menyampaikan sesuatu, kata-kata yang digunakan sederhana dan dapat diingat oleh para pendengarnya.

3.  Kata-katanya keluar dari jiwa dan hati yang bersih, jujur dan memiliki daya tarik yang mendalam. Ia senantiasa menyampaikan ajarannya dengan menjaga kondisi pendengarnya. Bahasa yang digunakan sesuai dengan jangkauan pemikiran, keadaan dan realitas umatnya.

Dari tiga hal tadi: Cara penyampaian, pemilihan kata dan gaya bahasa Rasulullah SAW yang sederhana, menjadikan doa-doa Rasulullah memiliki keistimewaan tersendiri di sisi Allah.  Karena beliau tahu benar akan pentingnya tiga poin tersebut dalam memanjatkan doa kepada Rabbnya. Diterima dan tidaknya sebuah doa sangat bergantung pada tiga hal ini. 

Seperti halnya Anda yang ingin mendapatkan projek atau ingin memenangkan sebuah tender dari perusahaan yang memberikan pekerjaan kepada anda, maka hal yang mesti dilakukan adalah kurang lebih sama. Yaitu memulainya dengan menyampaikan niat anda dengan cara yang baik (misalnya, membuat proposal yang bagus), lalu dalam penyampaian tersebut anda harus memilih kata-kata yang pas, agar apa yang dimaksud bisa dipahami dengan baik oleh sang pemberi pekerjaan. Kemudian yang tidak kalah penting dari dua hal sebelumnya ialah, menyampaikannya atau menjelaskannya dengan sederhana dan tidak berbelit-belit. Disampaikan dengan bahasa yang lugas dan memiliki makna yang mendalam.

Demikianlah tiga hal sederhana dari pola komunikasi Rasulullah SAW dengan Tuhannya. Semoga kita semua dapat mentauladaninya dalam memanjatkan doa kepada Tuhan. Bahkan kita bisa menariknya dalam kehidupan kita, bahwa kunci dari keberhasilan itu adalah pola komunikasi yang baik.
Wallahua’lam.




Friday, December 16, 2011

Sekelumit Tentang Istiqamah

“Satu istiqomah lebih baik dari seribu karomah” (Ulama)

Apa itu Istiqamah?

Istiqomah berasah dari bahasa Arab yang asal katanya qaama artinya berdiri tegak. Umar bin Khathab ra. mengatakan bahwa istiqomah mempunyai  arti: “Tegak lurus dalam menjalankan perintah Allah dan RasulNya dan tidak menoleh ke kanan dan ke kiri”. Sedangkan ulama modern seperti Buya Hamka berpendapat bahwa istiqomah yaitu: “Kokoh dalam menjalankan ketauhidan dan amal shaleh”. 

Dalam QS. Al Ahkaf :13 Allah berfirman Innalladziina Qaaluu rabbunallahu tsummastaqaamuu falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun.
Artinya:  “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah tidak ada rasa khawatir pada dan mereka tidak pula bersedih hati”. 

Ungkapan ulama dan ayat al Qur’an di atas, menegaskan kepada kita semua akan pentingnya istiqamah (konsisten) dalam memegang prinsip hidup dan menjalankan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dari Tuhan dan rasulNya. Menurut Al Qur’an, istiqamah itu merupakan kelanjutan dari sifat shabar dalam diri kita, atau bisa dikatakan sebagai buah dari sifat shabar itu sendiri. Maka istiqomah memiliki nilai yang cukup tinggi di mata Tuhan dibandingkan dengan karomah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda: “Amalan (kebajikan) yang sangat dicintai Allah adalah amalan yang langgeng walaupun sedikit”.
Jelas dan gamblang apa yang dimaksudkan oleh Nabi melalui hadisnya di atas, bahwa perbuatan yang sangat dicintai dan disenangi oleh Allah adalah amalan  yang berkelanjutan, walaupun sedikit. Katakanlah kita membiasakan diri untuk memulai segala sesuatu yang positif dengan kalimat “Bismillahirrahmaanirrahiim”. Karena “basmalah” merupakan kunci untuk membuka segala pintu kebajikan. Atau kalau boleh saya katakan bahwa dia adalah password untuk memasuki sebuah program. 

Begitulah Allah membuka pelan-pelan tabir rahasiaNya, kalau kita mampu mendawamkan (menjaga dan menjalankan) hal-hal kecil atau sederhana dalam kehidupan kita. Karena tiap amal yang positif rupanya akan berubah menjadi energi (kekuatan) bagi mereka yang menjalankannya dengan konsisten. Tidak heran buat saya, orang tua kita dulu yang rajin mengolah nafasnya dan selalu berlatih setiap hari dan kebiasaan itu mendarah daging dalam dirinya, memiliki kekebalan dan energinya beda dengan orang kebanyakan. Dan mereka hidupnya lebih tenang dan selalu sehat jasmani dan ruhaninya.

Ciri Mereka yang Istiqamah

Mereka yang istiqamah memiliki ciri antara lain:
  • ·        Memegang teguh prinsip dan mereka tidak peduli dengan hiruk pikuk orang lain, selama prinsip     yang dia anut adalah sebuah kebenaran.
  •      Orang yang istiqamah lebih memilih terkenal di langit ketimbang kesohor di bumi
  •      Sabar dalam menjalankan apa pun yang sudah menjadi ketentuan Allah dalam hidupnya 
  •      Hidupnya tenang, tidak khawatir dan takut, karena sudah dijamin oleh Allah.

Sebenarnya masih banyak ciri – ciri lain yang bisa kita ungkap dari mereka yang istiqamah, namun karena wadahnya terbatas, saya ambil empat hal saja yang menjadi ciri mendasar dari mereka yang istiqamah. Sungguh berbahagia bagi siapa pun yang mampu mencapai maqam (station - tahapan) ini. Karena istiqamah merupakan spirit utama dari TAKWA itu sendiri. Maka tidaklah salah Allah menjamin langsung hamba-hambaNya yang istiqamah tersebut dengan kebahagiaan dan kedamaian hidup. Dan mengutus para malaikatNya untuk melayani mereka dalam setiap urusan hidupnya. 

Berbahagia sekali tentunya saudaraku...Pantaslah para Ulama mengatakan: Al istiqaamatu khairun min alfi karoomah. Artinya:” Satu istiqaamah lebih baik dari seribu karoomah”.

Tuesday, December 13, 2011

Pentingnya Sebuah Pemahaman


“Aku (Tuhan) bergantung prasangka (baca pemahaman) hambaKu”. (hadits kudsi)

Ungkapan di atas sangat penting untuk kita pahami dalam mengarungi kehidupan yang serba tidak menentu ini. Terlebih lagi dalam memahami apa yang menjadi “tujuan” Tuhan dalam menyampaikan firman suciNya.
Jangankan untuk memahami maksud dan tujuan Tuhan yang tersembunyi di balik teks-teks suciNya, untuk memahami apa yang disampaikan oleh atasan maupun orang tua kadang kita mengalami kesulitan. Oleh karenanya dibutuhkan pengetahuan dan kearifan tersendiri dalam menangkap pesan-pesan tersebut. Salah satu langkah yang diperlukan adalah memiliki pemahaman yang baik.

Dalam segala lini kehidupan manusia, sangat membutuhkan pemahaman yang baik, terutama ketika melakukan komunikasi di berbagai arah. Contoh seorang Guru yang hendak mendidik anak didiknya, mau tidak mau dia harus memiliki pemahaman yang baik terhadap apa yang ingin dia ajarkan kepada para siswanya di kelas. Karena seringkali para guru tidak melakukan pengayaan materi ajarnya sebelum menyampaikan kepada peserta didiknya. Maka yang terjadi bukanlah memberikan “nilai-nilai” baru pada peserta didik mereka, sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan anak bangsa. Akan tetapi hanya memindahkan bahasa teks yang ada di buku pelajaran yang kemudian didikte oleh siswanya. Inilah yang akan terjadi bila para Guru malas mengasah potensi pemahamannya dalam hal mengajar.

Contoh lain yang bisa kita lihat untuk menangkap betapa pentingnya sebuah pemahaman yang baik adalah terdapat pada sebuah cerita di bawah ini, silakan menyimak.
Alkisah terdapat seorang ayah yang kaya raya dengan perniagaan yang sangat maju pesat pada zamannya, dan dia memiliki dua orang anak laki-laki yang sedang menanjak remaja. 

Seorang ayah tersebut mengidap penyakit kanker yang akut dan dia tidak boleh terkena sinar matahari, karena akan menambah parah penyakit yang dideritanya. Dokter juga menvonisnya bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Mendengar vonis dari sang dokter yang merawatnya, sang ayah yang bijak ini mengajak diskusi kedua anak laki-lakinya dengan dua pesan yang bunyinya sama, yaitu:

Ayah: Wahai anakku….Kalau kalian ingin menjadi orang yang sukses seperti ayah, maka dengarkan baik-baik pesan ayahmu ini.
Anak: Baik Ayah…kami akan mendengarkan dan menjalankan dengan baik apa yang menjadi pesan ayah buat kami kelak.
Ayah: Yang pertama: Dalam melakukan aktifitas sehari-hari, hendaklah kalian keluar rumah di saat matahari belum terasa panas dan pulang di saat matahari telah terbenam.
Yang kedua: Dalam menjalankan aktifitas bisnis dan melanjutkan perniagaan yang ayah miliki sekarang, tolong jangan sekali-kali kalian menagih hutang kepada para klien kalian.
Anak: Kedua anaknya mengangguk dan mengatakan baik ayah…akan kami laksanakan. Sambil menahan haru setelah mendengar buah nasihat ayah mereka.
Singkat cerita, tidak lama setelah memberikan nasehat kepada kedua buah hatinya, sang Ayah pun menghembuskan napasnya yang terakhir. Alias dipanggil kembali oleh Yang Maha Kuas, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Mari kita lihat buah nasehat yang telah disampaikan oleh sang ayah kepada anaknya tadi. Apa yang terjadi kepada dua orang anak laki-lakinya setelah menjalankan wasiat penting itu?
Setelah beberapa tahun menjalankan bisnis warisan sang ayah, kedua anaknya pun menunjukkan hasil yang berbeda
Melihat hasil usaha kedua anaknya yang berbeda, Sang Ibu pun tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Akhirnya dia mengumpulkan kedua anaknya dan mengajukan pertanyaan kepadanya.
Ibu: Bertanya pada anaknya yang pertama: Nak…Kenapa usahamu tidak sukses? Sedangkan kamu menerima pesan yang sama dari ayahmu dulu?

Anak: Ibu…Saya sudah melaksanakan apa yang menjadi pesan ayah. Ketika ayah menasehatiku agar jangan sampai kena sinar matahari kalau keluar rumah, maka aku tiap hari menyewa mobil dan naik taksi sebagai transportasiku. Oleh karenanya pengeluaranku besar sekali tiap bulannya. Dan ketika ayah menasehatiku agar jangan menagih hutang kepada pelangganku, maka aku pun tidak pernah menagih hutang kepada pelangganku yang pernah berhutang kepadaku. Maka usahaku pun bangkrut Ibu….

Ibu: Ibunya pun menggelengkan kepala mendengar penjelasan anak pertamanya.
Ibu: Tiba saatnya sang Ibu bertanya kepada anaknya yang kedua dengan pertanyaan yang sama..
Anak: Anaknya yang kedua menjawab: Ibuku yang baik….
Disaat ayah dulu menyampaikan nasehatnya kepada kami berdua, aku mendengarkannya dengan baik dan aku mulai belajar memahaminya dengan baik pula. Dan ketika Ayah menasehatiku jangan kena sinar matahari kalau keluar rumah, maka aku memahaminya dengan baik, bahwa aku harus bekerja keras dan selalu keluar rumah pagi-pagi sebelum matahari mulai terik. Dan aku selalu pulang malam agar tidak kena sinar matahari. Artinya aku harus banyak bekerja kalau mau menjadi orang yang sukses seperti ayah.
Nasehat Ayah yang kedua…Jangan menagih hutang kepada klien atau pelanggan (pembeli).
Ibuku yang baik…Dari nasehat ayah ini, aku mulai belajar untuk disiplin dalam menjalankan bisnis, yaitu dengan tidak memberikan hutang kepada pelanggan alias “Cash and Carry” atau istilah orang jaman sekarang  ( ada uang ada barang ) . Hehehehe..
Ibu: Ibunya pun mengangguk dan bangga sambil tersenyum mendengar penjelasan anaknya tersebut. (disarikan dari internet).

Rupanya “Pemahaman yang baik” sangatlah dibutuhkan dalam semua kancah kehidupan kita. Apalagi dalam memahami apa yang menjadi “keinginan” Tuhan melalui teks-teks sucinya yang bernama kita suci. Oleh karenanya mari kita sama-sama belajar mengasah dan memperluas cakrawala pemahaman kita dengan banyak mendengar, membaca, dan berdialog dengan siapa pun dalam kehidupan ini. Terutama belajar mendengar bisikan-bisikan alam, membaca pertanda-pertanda alam. Dan yang terakhir adalah belajar berdialog dengan diri sendiri.
Allahu a’lam..

Monday, December 12, 2011

Lagi! Kekerasan di Dunia Pendidikan


Miris memang!

Itulah kata yang pertama terlontar ketika saya mendengar  radio, menonton TV dan membaca berbagai media hari ini (13 Desember 2011). Betapa tidak , kita dikejutkan lagi dengan berita kekerasan di dunia pendidikan yang dilakukan oleh beberapa oknum guru dan kepala sekolah SMKN 29 Jakarta Selatan yang harusnya bertugas mendidik dan mengayomi anak didiknya agar memiliki akhlak dan budi pekerti yang baik.  

Sebanyak 150 siswa SMKN 29 Jakarta Selatan tersebut mengalami  kekerasan fisik berupa tamparan, pukulan dan sabetan ikat pinggang yang dilakukan oleh sejumlah guru dan kepala sekolah mereka. Kejadiannya pada kamis (8/12) dan jumat (9/12) membuat siswa trauma (Berita kota, 13/12). 

Kekerasan dalam dunia pendidikan memang kerap kali terjadi dan hemat saya, angkanya bukan malah berkurang dari hari ke hari, namun mengalami kenaikan yang signifikan. Belum lagi kalau ditambah dengan kasus yang lain, seperti pelecehan seksual dan pemerkosaaan yang juga terjadi di area sekolah. Alih-alih menjadi wadah pembinaan dan penerapan nilai-nilai kebajikan terhadap peserta didiknya, malah yang terjadi sebaliknya, yaitu pengebirian potensi peserta didik dan bahkan melakukan kekerasan demi menjaga gengsi dan nama baik (citra) sekolah. Alhasil, siapa yang dirugikan dari berbagai kasus kekerasan yang sering terjadi di sekolah atau dunia pendidikan kita? Jawabannya, selain nama baik lembaga pendidikan, yang paling rugi dan selalu menjadi korban adalah peserta didik. Tengok saja dari setiap kasus kekerasan di dunia pendidikan selama ini, pasti yang menjadi sasaran adalah anak didik atau siswa. Karena guru memang tidak pernah mengenal kata-kata salah. Mereka (guru) selalu berada pada posisi yang benar. Makanya yang akan menerima hukuman atau sanksi selalu murid atau anak didik. Baik hukuman diskors, disuruh berdiri di depan teman sekelasnya untuk dicemooh ramai-ramai, dicukur rambutnya dengan gaya yang tidak pantas, dipukuli, disabet dengan ikat pinggang, bahkan ada yang dihajar sampai menghembuskan napasnya yang terakhir.

Mengerikan memang!!
Diakui atau tidak, inilah potret dunia pendidikan kita saat ini. Lalu ke mana budaya kesantunan dan saling asah - asuh yang selama ini pernah menghiasi jati diri bangsa kita? Kenapa pula dunia pendidikan yang menjadi sasaran empuk kekerasan? Sudah separah itukah moralitas dan akhlak kita sebagai anak bangsa? Pertanyaan ini harus menjadi fokus kita semua, karena dunia pendidikan merupakan harapan kita bersama sebagai wadah yang akan mencetak generasi bangsa yang bermoral dan memiliki karakter yang baik di masa yang akan datang. Karena pendidikan yang baik adalah masa depan suatu bangsa itu sendiri.
Ungkapan yang berbunyi: “Anak adalah masa depan orang tuanya”. Tidak salah lagi! Oleh karena itu, marilah para pendidik (guru) di manapun kalian berada, ayo kita didik anak-anak kita dengan kasih sayang, karena dengan kasih sayanglah mereka akan bisa tumbuh dan menerima ilmu pengetahuan dengan baik. Percayalah! Tidak ada manusia yang bisa tumbuh dengan sempurna di bawah tekanan ataupun kekerasan. Oleh karena anak didik kita juga merupakan masa depan kita semua dan juga merupakan masa depan bangsa dan negaranya. Dari merekalah lahir pemimpin-peminpin besar yang kelak juga akan memimpin kita semua.

Untuk menutup tulisan singkat ini, saya mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Gandhi tentang perdamaian: “ Untuk melahirkan perdamaian dunia, maka mulailah dari anak-anak”. Stop kekerasan saudaraku, karena tidak ada gunanya!
Allahu a’lam..


Generasi Muda dan Pembangunan "Civil Islam"

Banyak ungakapan yang sangat familiar di telinga kita, misalnya: “Generasi muda adalah penerus cita-cita bangsa, berikanlah sepuluh orang pemuda, maka saya akan bangun bangsa ini (ungkapan Bung Karno). Generasi muda adalah penegak panji-panji Islam”. Dan masih banyak lagi ungkapan lainnya.

Pada awal tahun 94an, banyak sekali pakar dari berbagai disiplin ilmu memaparkan teorinya tentang “generasi  ideal yang menjadi harapan bangsanya”. Ada yang mengatakan bahwa generasi yang ideal adalah generasi yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan dapat mengikuti arus perkembangan zaman dan teknologi modern. Ada pula yang berpendapat bahwa generasi ideal adalah mereka yang memiliki rasa patriotisme tinggi terhadap bangsanya. Sebagian yang lain mengemukakan bahwa generasi ideal adalah mereka yang memiliki profesionalisme serta bisa mandiri dan memiliki visi yang jelas terhadap masa depan bangsanya.

Kriteria atau persepsi  tentang  generasi muda yang ideal adalah mereka yang memiliki kesiapan iman dan menguasai ilmu pengetahuan untuk membangun umat dan bangsanya menuju apa yang digaungkan oleh Robert W. Hefner  yaitu “Civil Islam”.  Hal ini menjadi penting mengingat generasi muda merupakan investasi masa depan umat dan bangsa di masa yang akan datang.

Menyoal peran generasi muda dalam mewujudkan “Civil Islam” (masyarakat Islam atau kultur Islam), tentunya kita harus lebih mengencangkan ikat pinggang dalam membantu membeerikan kontribusi positif sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Paling tidak, kita punya kemauan untuk memberikan pemahaman terhadap lingkungan kita dan masyarakat luas mengenai pentingnya pembangunan civil Islam, dengan mengembangkan budaya membaca, berdialog, toleransi, dan rasa persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Generasi muda sebagai pewaris bangsa mempunyai tugas yang tidak ringan, karena mereka dihadapkan pada kondisi zaman yang jauh berbeda dengan para pendahulunya. Tantangan yang dihadapi jelas lebih berat dibandingkan dengan apa yang dialami oleh pewaris sebelumnya. Di antaranya adalah hantaman arus globalisasi yang tidak kenal batas.

Pembangunan Civil Islam tidak akan bisa tercapai dengan baik kalau generasi muda, khususnya generasi muda Islam sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sesaat dan tidak berkesinambungan. Karena berbicara Civil Islam adalah bagaiana membangun masyarakat yang berpihak pada nilai-nilai peradaban yang tinggi, yaitu masyarakat yang selalu mengasah potensi dirinya dalam menyongsong masa depan Islam yang gemilang dan penuh perdamaian, sehingga mampu mewujudkan apa yang disebut oleh Al Qur’an dengan istilah “Khaira Ummah”  (ummat terbaik) yang pernah diciptakan oleh Allah di muka bumi.

Dalam mewujudkan umat terbaik (khaira ummah) atau generasi muda yang terbaik, jelas tidak cukup dengan mengandalkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya “sesaat” (baca jangka pendek). Terlebih lagi kalau kita tarik dalam wacana ke-Islaman, kata sesaat (jangka pendek) dalam bahasa Al Qur’an dikenal dengan sebutan “Aajilah” yang berarti kenikmatan sesaat ( baca dosa). Dari penjelasan sekilas di atas, bisa disimpulkan bahwa kita semua akan berdosa, apabila kita tidak merancang dengan baik apa yang hendak dilakukan untuk masa depan diri dan umat. Begitu pula halnya dengan membangun sebuah organisasi tidak akan jauh beda dengan pertanyaan, mau sukses atau gagal di akhirnya kelak? Konotasinya sama dan pemahamannya pun tidak beda, yaitu kita harus mempeersiapkan diri untuk kejayaan dan kedamaian kita di masa yang akan datang (akhirat). Begitu pula halnya ketika kita ingin melahirkan umat terbaik, yaitu harus dengan beriman dan beramal shaleh. Beriman bisa diartikan dengan mendalami ilmu Pengetahuan secara komperehenship, sedangkan beramal shaleh yaitu dengan berbuat (berkarya) yang positif dan bernilai tinggi (berkualitas). Dari paparan di atas, semakin jelas bahwa kejayaan dan kedamaian yang ingin diwujudkan lewat “Civil Islam”  yaitu dengan jalan merancang program-program yang menunjang lahirnya sebuah peradaban Islam seperti yang pernah terjadi pada masa keemasan Islam pada abad pertengahan. Dengan mengutamakan program yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saturday, December 10, 2011

Agama di Era Keterbukaan

Salah satu tema menarik yang tidak pernah selesai diperbincangkan sepanjang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah persoalan yang berkaitan dengan isu- isu pluralitas (baca keanekaragaman), baik yang berkaitan dengan agama, budaya, bahasa, suku dan lainnya.

Perdebatan mengenai perlu tidaknya pengesahan piagam jakarta yang terdiri dari tujuh kata oleh berbagai ormas Islam yang berhaluan "keras" untuk kemudian dimasukkan dalam konstitusi pada sidang tahunan MPR misalnya, menjadi bukti bahwa "perkelahian" pemaknaan di antara dua kelompok pemikiran ke-Islaman di Indonesia sangat terlihat. Namun syukurnya desakan-desakan tersebut banyak ditentang oleh kalangan anggota DPR RI yang masih menganggap pentingnya penghargaan terhadap perbedaan dan kemajemukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tarik ulur antara dua mindsream pemikiran Islam ini, kerap terjadi dan sering dipertontonkan kepada khalayak. Satu sisi menggembirakan bagi perkembangan dialektika pemikiran ke-Islaman di Indonesia. Namun di sisi lain,sangat menghawatirkan bagi perkembangan dan keberlanjutan kehidupan beragama di Indonesia.

Mengapa demikian? Pertanyaan tersebut minimal bisa kita jawab dengan beberapa pertimbangan akan pentingnya kehadiran Indonesia yang nota bene berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia saat ini. Antara lain alasan yang bisa kita kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia diharapkan mampu menjadi contoh bagi masyarakat global akan pentingnya sebuah kehidupan beragama yang harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Sejalan dengan visi besar Islam di Indonesia yang mengusung tema besar yaitu Islam yang "rahmatan lil 'alamiin" (Islam untuk kedamaian dunia). Yaitu Islam yang siap berdampingan dengan masyarakat dunia lainnya.

2. Masa depan perdamaian dunia akan bisa terwujud dengan baik, yaitu dengan adanya kebiasaan berdialog antar umat beragama yang ada, tanpa adanya saling kecurigaan antara satu dengan lainnya. Ditambah dengan saling mengembangkan sikap dan rasa tepo seliro dalam keragaman budaya dan agama yang ada. Dengan membiasakan hal ini, penduduk dunia mampu secara bersama-sama mengurangi terjadinya konflik yang terjadi karena perbedaan pandangan keagamaan dan budaya, maupun perbedaan bangsa.

3. Hendaknya dalam pergaulan dunia yang semakin global, kehidupan beragama tidak lagi sibuk mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada antar umat bergama. Baik perbedaan pandangan tentang konsep ketuhanan maupun perbedaan cara pelaksanaan syariat masing - masing agama. Hemat saya, pemeluk agama harus diajak untuk memiliki kesamaan platfom mengenai nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti pentingnya menjaga perdamaian dunia dan hidup bersama tanpa peperangan dan penjajahan. Membantu meringankan beban sebagian saudara kita yang mengalami kelaparan di berbagai belahan dunia afrika dan memerangi kemiskinan dan kebodohan yang ada.

Tiga poin di atas menjadi penting untuk dijadikan isu bersama antara umat beragama di Indonesia dalam menghadapi era keterbukaan ini. Di mana informasi mengalami percepatan tanpa batas, hendaknya pola pikir umat beragama pun dalam merespon fenomena yang ada, harus semakin terbuka terhadap perbedaan dan kemajemukan. Karena bukan zamannya lagi bagi umat beragama untuk saling mengembangkan kecurigaan - kecurigaan yang tidak penting. Apalagi hanya mengandalkan truth claim (klaim kebenaran ) atas agama yang dianutnya. Dan kemudian memaksakan kebenaran yang dimiliki untuk dianut dan diyakini oleh umat agama lainnya.

Prinsip di atas sangatlah penting untuk dikembangkan, mengingat Indonesia sudah menjadi pusat perhatian dunia, terlebih lagi dengan pertumbuhan ekonomi bangsa yang mencapai 6,7% dan menjadi negara muslim yang menjalankan konsep demokrasi terbesar keempat di dunia, menjadi alasan buat kita semua umat beragama untuk secara bersama-sama mengembangkan kehidupan yang harmonis antar sesama umat beragama yang ada di Indonesia.

Semoga dengan cara pandang yang sederhana ini, akan memberi kontribusi buat kita semua untuk saling mengembangkan dan mengedepankan kehidupan beragama yang inklusif (terbuka) dalam menghadapi era keterbukaan ini. Wallahu a'lam.

Friday, December 9, 2011

Wajah Buruk Pendidikan Kita

Aspek pendidikan dalam berbagai kehidupan masyarakat di dunia tidak dapat dilepaskan dari pola budaya dan latar belakang  sejarah masing-masing bangsa.  Dualisme dalam dunia pendidikan kita dalam kaitannya dengan kebudayaan dapat kita lihat dari fungsi pendidikan yang berperan sebagai proses transformasi kepribadian menuju kematangan manusia ( pendewasaan manusia). Tetapi di sisi lain pendidikan dapat berfungsi sebagai pewarisan nilai-nilai budaya masyarakatnya serta mempertahankan kepribadian kolektif masyarakat (Nasionalisme).

Disadari juga bahwa bangsa Indonesia secara historis mengalami masa penjajahan / kolonialisasi oleh Barat yang berjumpa dengan pola-pola warisan berbagai ajaran keagamaan, seperti Islam klasik, Hinduisme dan Budhisme secara dialektik. Dari kenyataan tersebut dapat  kita analisis bahwa hal tersebut  membawa dampak positif dan negatif  terhadap pola pendidikan di Indonesia. Pola pendidikan barat  menekankan pada “individualisme” yang men-eliminasi semangat kolektivisme dan sekaligus melaksanakan garis kebijaksanaan penjajah yang tidak menghargai penduduk pribumi, yang mereka anggap masih primitif, yang kemudian membawa dampak terhadap bangkitnya kesadaran dan semangat nasionalisme untuk melawan penjajah.

Di sisi lain, agama –agama seperti Islam klasik, Hinduisme dan Budhisme setelah megalami proses dialektis dan sintesis telah mewujudkan masyarakat piamidal yang hirarkis (baca berkelas) dalam pembentukan institusi pendidikan yng berjiwa religius dalam menegakkan apa yang disebut oleh Chumaidi syarief dengan istilah “Religio – Feodalisme”  (feodalisme yang dibungkus dengan nilai-nilai agama). Konsekwensi logis yang dipikul oleh masyarakat adalah bangkitnya kelas-kelas awam dan kelas atas  yang merupakan kelas penentu potret pendidikan Indonesia saat ini.

Ketimpangan-ketimpangan nilai di atas, secara terus menerus dan tanpa kita sadari telah membentuk konflik nilai  pada masa sekarang, karena pendidikan yang bercorak “otoriter” warisan kolonial dan hasil ciptaan agama-agama yang disebutkan di atas sangat berpihak pada kepentingan “kaum atas” dan meniadakan otoritas sosial dari masyarakat kelas bawah (baca orang miskin). Dari perspektif politik, hal ini dapat melahirkan pola pendidikan yang bercorak “hegemonik”.

Pendekatan Strukturalisme dalam Pendidikan 

Secara sosiologis, pendidikan adalah sebuah proses interaksi  antara pendidik dengan subjek didik. Namun dilihat dari sudut pandang strukturalisme, orientasi  dari interaksi diletakkan pada fungsi dan kedudukan pelaku itu sendiri. Oleh karena itu “kekerasan” dalam pendidikan dapat diartikan bahwa perilaku tersebut lahir dalam struktur yang bercorak hegemonik, sebagai sebuah kejahatan dan kekerasan yang  merupakan produk dari struktur  yang telah ada.
Akumulasi dari kekuasaan sosio- politik yang bercorak hegemonik melahirkan struktur masyarakat pendidikan yang sangat hirarkis (berkelas), di mana lapisan yang tertinggi (feodal – paternal) menghasilkan ketimpangan “potensi” dalam masyarakat didik sehingga terwujud adanya ketimpangan “kapabilitas”, “kepercayaan diri” dan bahkan penguasaan otoritas kepribadian subjek didik. Disamping itu masyarakat didik kehilangan otonomisasi  kemandirian yang rentan terhadap adanya eksploitasi – penindasan, baik sosial, politik, ekonomi, dan bahkan adanya pemerataan proses pembodohan suatu generasi subjek didik.  Sering kita dengar digaungkan adanya pengembangan SDM, akan tetapi yang terjadi adalah proses pembodohan sistemik. Di berbagai jenjang pendidikan diterapkan sistem “pendidikan terpadu”, namun sebenarnya yang berjalan hanya proses “pembelajaran” yang mengebiri hakikat dari pendidikan yang sebenarnya. Begitu pula pada tataran masyarakat religius Islam, seperti majelis ta’lim tumbuh subur  bak cendawan di musim hujan, namun peningkatan pemahaman umat tidak bergeser  dari semula.

Menarik memang melihat pola pendidikan yang berlaku dalam masyarakat religius, kemungkinan akan terjadinya letupan generasi didik untuk melakukan “pemberontakan” intelektual terhadap proses pendidikan yang sudah berjalan agak sulit, karena para ulama, ustadz, pendeta, biksu, romo dan kekuasaan politik bersatu padu dalam mempertahankan eksistensi dirinya secara hegemonik. Maka dalam kondisi seperti ini jangan berharap akan lahirnya perubahan dan pencerahan baru yang mampu merubah wajah dunia pendidikan di Indonesia.

Distorsi tentang pendidikan akan lahir bilamana tujuan pendidikan yang ideal bagi masyarakat tidak dapat terlaksana atau terwujud sebagaimana tuntunan zaman. Kekuatan-kekuatan birokrasi sangat dominan dalam pelaksanaan pendidikan buat masyarakat. Sehingga berakibat munculnya ketidakpuasan dalam masyarakat terdidik. Karena itu tuntutan masyarakat untuk dapat memenuhi pelayanan pendidikan yang ideal kadang-kadang dilakukan dengan nuansa kekerasan. Beberapa tahun yang lalu dan bahkan sampai sekarang, tuntutan terhadap perbaikan sistem pendidikan sangat gencar, ada yang dengan melakukan demonstrasi, sebagai bentuk protes bagi penyelenggaraan pendidikan yang berwajah penindasan, kekerasan, eksploitatif, dan hegemonik oleh para penguasa atau pengelola pendidikan. Ada pula yang bermain pada tataran legislatif di parlemen yang berupaya merubah wajah pendidikan melalui proses amandemen UU yang berkaitan dengan persoalan pendidikan.

Itu semua merupakan usaha maksimal masyarakat yang menghendaki dan merindukan terwujudnya dunia pendidikan yang ideal, yaitu pendidikan yang berwajah humanis untuk subjek didiknya. Sehingga mampu melahirkan generasi baru Indonesia yang cerdas secara keilmuan dan cerdas secara moral dan memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. 

Bangkitlah dunia pendidikan negeriku, jayalah generasi bangsaku!.

Baca juga: