Thursday, April 3, 2014

Berbuat Baik Walau Susah...

Ada pernyataan tua yang berbunyi: " Berbuat baik itu tak pernah kenal waktu dan zaman". Artinya kebajikan akan melekat sepanjang manusia itu hidup dan masih menghirup udara segar dunia.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita  dihadapkan pada banyak sekali persoalan. Ada persoalan besar maupun yang kecil yang melanda kehidupan kita, dan semua itu mau tidak mau kita sebagai mahluk hidup harus melewatinya dengan baik. Karena menyelesaikan persoalan hidup merupakan bagian dari amal perbuatan yang bajik di sisi Tuhan. Betapa pentingnya berbuat bajik ini, sampai Tuhan pun berfirman dalam surah al Ashr ayat 2-3 : " Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh (perbuatan kebajikan)".

Penjelasan mengenai apa itu perbuatan bajik, saya kira kita semua tahu apa saja yang termasuk dalam kategori perbuatan baik itu, bahkan Nabi yang Agung pun mengatakan dalam sabdanya bahwa senyum kita kepada saudara kita adalah merupakan bagian dari sedekah (baca ibadah). Dan membuang duri di tengah jalan agar tidak diinjak oleh orang lain pun merupakan bagian dari perbuatan bajik itu. Betapa mudah dan sederhananya berbuat kebajikan ini bagi mereka yang mempunyai kejernihan hati untuk melakukannya. Sebab walaupun senyum dan membuang duri di jalanan itu merupakan perbuatan yang mudah dan sederhana, namun tidak sedikit dari kita yang susah memberikan senyumannya kepada orang lain. Kenapa sebagian kita sulit untuk berbagi senyuman? Jawabannya, karena senyuman itu pekerjaan hati dan mereka yang hatinya jernihlah yang bisa selalu senyum walaupun dalam kondisi pahit dan derita.

Memiliki hati yang bersih (jernih) itu adalah kebahagiaan tersendiri yang harus disyukuri oleh setiap orang yang beriman. Karena dengan bersihnya jiwa, maka akan semakin mudah dan ringan bagi manusia untuk melakukan amal kebajikan dalam hidupnya, sekalipun mereka sedang dihadapkan dalam kondisi yang sulit. 

Menurut para kaum sufi, ketika batin manusia itu bersih dan hanya diperuntukkan bagi Tuhannya, maka Tuhan yang akan memberikan rejeki kepada mereka dalam kemarau maupun hujan tanpa perantara, tanpa harus bersusah payah atau pertolongan selain Tuhan. Dan sebaliknya, ketika batin manusia jauh dari Tuhan, maka rejekinya tidak akan datang kecuali dengan usaha susah payahnya siang dan malam. 

Pernyataan kaum sufi di atas, bisa dibilang menjadi buah dari perbuatan bajik manusia yang melakukannya dengan cara kuntinyu atau berkelanjutan (baca istiqomah). Sebab hanya orang-orang yang pandai memelihara tradisi kebajikanlah yang mampu meraih kenikmatan hakiki seperti yang diungkapkan para sufi tersebut. Yaitu mereka yang selalu berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menyuguhkan segala kebajikan untuk umat manusia dan disertai dengan kejernihan jiwa dan batinnya. Maka Tuhan mereka pun tidak tanggung-tanggung membalasnya dengan hadiah-hadiah yang tiada bandingannya di dunia dan akhirat.

Berbuat baiklah walau sedang susah.... Karena Tuhan sedang menyiapkan sebuah hadiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia buat mereka hamba-hambaNya yang selalu menjaga dan memelihara amal kebajikannya walau sebesar biji zarrah.

Allahu a'lamu

 

Monday, March 3, 2014

Cerita Seorang Pengasah 'Mutiara'

Written by Kahfi Dirga Cahya

Anak-anak Sekolah Rakyat Bogor dalam kegiatan belajar/DokAnak-anak Sekolah Rakyat Bogor dalam kegiatan belajar/DokNun jauh di sana, lahir seorang anak bertubuh mungil dengan bakat yang tak bisa diremehkan. Bima merupakan tempat anak ini tumbuh besar—tepatnya di daerah Rasabao, Nusa Tenggara Barat. Rasabao sendiri artinya adalah Kampung Baru.
Di kampungnya, anak ini digembleng menjadi seorang yang cukup dekat dengan agama Islam. Bahkan, ada istilah bahwa ‘maling pun harus bisa mengaji.’ Berkat itu pula, kampungnya tak pernah sepi dari suara mengaji—terutama saat waktu Maghrib tiba.
Ia adalah Munawar M. Ali. Laki-laki yang penuh semangat membara jika sedang berbicara pendidikan. Hal ini berkat semangat yang terbentuk di masyarakat kampungnya tentang pendidikan. Di mana hampir semua orang tua mengharuskan anak-anaknya untuk sekolah yang tinggi. Sekali pun harus berhutang untuk biaya pendidikan.
Besar di keluarga yang cukup relijius, Munawar kecil merupakan anak yang diimpikan oleh ayahnya untuk menjadi Qori Internasional. Prestasinya dalam dunia Qori dimulai sedari ia menjadi Qori Nasional termuda di Indonesia pada tahun 1988. Saat itu umurnya genap menginjak usia 14 tahun.
Dari ambisi ayahnya, ia kemudian ditempatkan di Perguruan Tinggi Ilmu Quran di Jakarta. Namun, tak bertahan lama—setahun setelah itu, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari kampus itu. Alasannya, kampus tersebut tidak menyediakan wadah yang luas untuk bekreasi.
“Cuma saya memang tidak terlalu sreg dengan PTIQ. Tidak terlalu semangat lihat kampus. Kampusnya kurang menghidupkan anak-anak untuk belajar,” jelas Munawar saat ditemui TNOL di Jakarta Selatan, Kamis 27 Februari lalu.
Keputusannya untuk keluar dari PTIQ harus dibalas dengan konsekuensinya menganggur selama lima tahun lamanya. Tapi, selama menganggur dirinya tetap aktif di berbagai seminar dan tempat kursus. Salah satunya—Al-Manaf—tempat kursus Bahasa Arab yang dimiliki Anis Matta.
Berkat kecerdikan dan bakatnya dalam mengaji, ia juga akhirnya mengabdikan diri untuk menjadi guru ngaji di beberapa rumah.
“Ngajar mengaji itu kadang saya jalan kaki,” kenang Munawar. Ia menuturkan setidaknya ada lima rumah yang ia singgahi untuk mengajar ngaji. Tiap rumah itu ia diberi gaji Rp 50-100 ribu rupiah per bulannya.
“Gaji ngajar mengaji itu untuk kuliah,” ucap Munawar. Akhirnya di tahun 1998 ia memutuskan kembali ke bangku pendidikan lewat tabungan yang dimiliki saat menjadi guru mengaji.
“Saya masih ingat, tabungan saya tiga juta lima ratus. Alhamdulilah, dari uang ini saya tabung untuk melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan Pendidikan Tarbiyah,” cetusnya.
Potret kehidupan yang pahit
Sewaktu Munawar menginjak masa Aliyah, ia memiliki kegiatan rutin tiap minggunya. Munawar yang tinggal di rumah bibinya sembari sekolah itu, harus pulang ke kampung untuk mengambil kayu bakar dan beras tiap minggunya sebagai bekal dia tiap harinya di sana.
“Kami punya kebiasaan tiap hari minggu ambil kayu bakar di gunung. Karena hampir semua masyarakat memasak dengan kayu bakar,” cerita Munawar yang jarak antara rumah bibinya dan kampungnya berkisar 40 Kilometer.
Di keluarganya, ia sudah terbiasa makan tanpa lauk. Sekali pun ada lauk, itu harus dibagi sama rata. Karena gaji ayahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mencukupi menutupi sembilan anaknya.
“Saya ingat biasanya ayah sering memberi tahu kita sebagai anak-anaknya untuk makan pakai garam. Itu terjadi berhari-hari—tidak ada lauk. Salah satu yang menarik, yaitu makan pakai telur satu dibelah empat atau lima,” tutur Munawar yang kerap kali mendapat sumbangan beras dari kakak pertamanya, Nuraeni.
Hal itu pula yang membuat Munawar memutuskan untuk merantau ke Jakarta—cukup tahan untuk tidak makan di Ibu Kota. Baginya, itu merupakan sebuah kisah hidup dan pelajaran penting. Ia mengungkapkan bahwa pahit merupakan potret hidupnya. “Pahit sudah biasa dari potret hidup saya,” kenang Munawar.
Satu hal yang biasa ia amini dalam hidup yaitu perkataan Bunda Theressa, ‘kalau ingin menjadi orang besar, hargailah orang miskin—bahkan termiskin sekali pun’. Itu yang kemudian mengilhami Munawar untuk membuat suatu perubahan di salah satu daerah di Bogor.
Munawar juga menyontohkan perkataan dari Kiyai di film ‘Sang Pencerah’ bahwa orang besar adalah orang-orang dengan ilmu yang dimiliki. Rela membaktikan dirinya memberi pengajaran kepada anak-anak di gunung, kolong jembatan dan tidak punya akses pendidikan. “Besar itu memiliki kapasitas untuk membantu banyak orang,” kata Munawar.
Sekolah Rakyat
Sebuah momentum penting bagi hidupnya saat ia mulai memutuskan untuk bergelut di pembangunan dunia pendidikan. Awalnya, ia mulai membuat sebuah sekolah di Desa Tangil, Bogor.
“Banyak sekali anak-anak perempuan nikah di usia dini. Selain itu, anak-anak lainnya juga tidak bersekolah,” cerita Munawar.
Dengan melihat kondisi masayarakat seperti itu, pada tahun 2002 Munawar dengan teman-temannya berinisiatif untuk membuat sekolah gratis. Mulanya, mereka belum mempunyai gedung untuk menampung anak-anak. Namun itu teratasi, sesaat setelah mencoba mendekati sebuah yayasan untuk meminjamkan gedungnya—Daarul Funun.
Awalnya, Sekolah Rakyat ini menerima 35 anak untuk bersekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Setelah itu, perkembangannya cukup pesat. Ia mengadakan Jambore Sekolah Rakyat se-Bogor.
“Akhirnya teman-teman pada ngumpul. Kemudian tercetus gagasan untuk memformalkan lembaganya menjadi Yayasan Sekolah Rakyat Bogor,” kata Munawar yang mengatakan Sekolah Rakyat sudah berkembang di 23 titik di Kabupaten Bogor.
Kegiatan sosial ini kemudian tercium oleh pengelola Sekolah Rakyat Indonesia. Munawar kemudian berinisiatif mengundang Sekolah Rakyat Indonesia untuk bertemu di Panji Masyarakat yang sempat menjadi kantor Munawar.
“Awalnya saya diminta untuk jadi mitra di titik Bogor. Kemudian saya dipercaya untuk menjadi koordinator Kabupaten Bogor,” cerita Munawar yang menuturkan sekarang sudah ada 20 kabupaten yang ikut mendirikan Sekolah Rakyat di daerahnya.
Hambatan Sekolah Rakyat Bogor
Mereka adalah 'mutiara' yang siap bersinar Mereka adalah 'mutiara' yang siap bersinar Memulai sesuatu yang asing memang membutuhkan perjuangan dalam menghadapi rintangannya. Tak terkecuali pembentukan Sekolah Rakyat di Bogor. “Hampir setiap kali kami membuka TKBM (Tempat Kegiatan Belajar Mandiri), Halangan yang luar biasa datang dari pihak informal leader—tokoh masyarakat,” kata Munawar.
Ia beralasan, Bogor yang masih beranggapan sebagai wilayah pesantren—sehingga anggapan beberapa Kyai Ajengan bahwa sekolah yang diakui hanya pesantren dan mengajar Al-Quran. “Jadi yang kita alami adalah para Ajengan tidak merestui. Itu pun karen mereka belum paham dan saling kenal,” kata Munawar.
“Dalam teori perubahan kan ada defends-nya. Tapi kami sadar betul, teman-teman kita kasih pemahaman bahwa itu sebenarnya sesaat saja,” kata Munawar yang akhirnya mendapatkan dukungan mereka pada program Sekolah Rakyat ini.
Munawar menjelaskan bahwa biasanya ia dan teman-temannya sebelum melakukan TKBM mengajak obrol terlebih dahulu RT, RW dan kelurahan setempat. Jika mereka setuju, maka akan ada pembekalan calon wali murid dari Munawar.
“Penyuluhannya tentang pendidikan untuk anak-anak mereka. Jadi tidak selamanya anak-anak yang disuruh sekolah merugikan orang tua,” kata Munawar yang beralasan, biasanya para orang tua beranggapan anak-anak yang sekolah tidak bisa membantu orang tua di ladang untuk menghasilkan uang.
Namun, hal itu lama kelamaan mulai menghilang. Banyak orang tua yang paham akan pentingnya dunia pendidikan bagi anak-anak mereka. “Banyak teman-teman yang numpang sekarang banyak yang membangun gedung karena dikasih tanah wakaf,” Munawar meyakinkan.
Munawar sendiri menuturkan bahwa ciri perubahan berkaitan dengan manusia itu sendiri, tiga diantaranya yakni; Orang yang belum apa-apa sudah bertahan. Bahkan dia memasang badan untuk tidak boleh;  Ada orang yang ‘oke gue akan bantu’ tapi itu sebatas omongan; Ada orang yang membela mati-matian. Orang ini biasanya akan menghadapi semua jenis rintangan yang dihadapi.
“Untuk menemukan orang yang tipe ini tidak mudah. Kalau bahasa saya ‘kiriman Tuhan’,” kata Munawar yang beralasan bahwa orang ini biasanya datang ketika ia kehabisan akal.
Selain itu, ia juga sering menghadapi masalah dengan sekolah induk—salah satunya saat pemberian Dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) dari pemerintah. Munawar mengatakan bahwa beberapa sekolah induk belum memahami arti sekolah mandiri Sekolah Rakyat.
“Yang dimaksud mandiri itu adalah terbentuknya sekolah gratis dari masyarakat. Bukan biayanya yang mandiri,” jelas Munawar yang mengatakan Sekolah rakyat merupakan program pemerintah.
Ia menuturkan, adanya Sekolah Rakyat merupakan kepanjangan dari pemerintah untuk meyediakan pendidikan kepada yang masyarakat yang tinggal di pedalaman. “Undang-Undang sisdiknas (sistem pendidikan nasional) memberikan garansi pada kami untuk begerak di lapangan,” katanya menjelaskan.
Masalah sumber daya manusia untuk mengajar juga merupakan masalah yang dialami oleh Munawar saat permulaannya. Pada akhir tahun 2006 ia kemudian on air di Radio Republik Indonesia (RRI) dalam mengampanyekan Sekolah Rakyat Bogor. Berkat itu, banyak para warga di daerah lain—terutama Jakarta—mengkhususkan dirinya datang ke Sekolah Rakyat Bogor untuk menjadi pengajar.
Munawar mengungkapkan bahwa Sekolah Rakyat Bogor juga tidak berlandaskan pada uang. Sehingga, para pengajar yang datang pun sukarela membantu. Namun, terkadang ia menemukan para pengajar yang meminta uang transportasi.
Kalo orang bergerak karena uang, biasanya mereka gak tahan lama,” kata Munawar menanggapi permasalahan itu.
Berbuat nggak harus jadi orang kaya
Munawar pendiri Sekolah Rakyat di Bogor/Foto: KahfiMunawar pendiri Sekolah Rakyat di Bogor/Foto: KahfiKegiatan sosial itu biasanya akan bertahan dari tahun pertama sampai dengan tahun kelima. Itu pula yang melandaskan Munawar dalam Sekolah Rakayt Bogor ini. “Di tahun itu (satu sampai dengan lima) gangguannya banyak. Kalau gak sabar, ya kabur,” Munawar meyakinkan.
Ia menambahkan tidak mudah bergerak di bidang sosial. Banyak teman-temanya yang mengatakan, ‘kok hebat banget, begrekan di bidang sosial. Bukannya kalau mau bergerak di bidang sosial harus kaya dulu’.
Menanggapi hal tersebut, munawar menjawabnya dengan santai, “Saya jawabnya gampang, kalo nunggu kaya dulu. Kapan bergeraknya. Apakah ada jaminan, Munawar jadi orang kaya,” ujarnya bertanya.
Ia mengatakan bahwa kaya itu terminologinya banyak. Kaya ilmu, kaya jiwa, kaya spiritual, kaya harta—semua itu bagian dari kaya.
Ia mengatakan, bahwa apakah orang kaya punya kepekaan sosial dan kemauan tinggi. Ia menambahkan banyak orang kaya, namun tidak memiliki kepekaan sosial dan empati sosial. “Di negeri ini banyak orang kaya, tapi gak punya empati sosial,” kata Munawar.
Ia menjelaskan bahwa kegiatannya ini mencoba menyentuh hati mereka. “Kenapa Umar mau membantu orang? Karena ada Muhammad yang menyentuhnya. Kenapa Abu Bakar menjadi orang dermawan, karena ada Muhammad yang menyentuhnya,” Munawar menyontohkan.
Menurutnya, masing-masing manusia ada pembagian tugasnya. Jadi, kalo paradigma ‘nunggu kaya raya dulu harus bisa berbuat’ itu merupakan hal yang keliru. Ia menyontohkan lagi bagaimana Bunda Theressa bilang ke Lady Di untuk mengenal Tuhan.
“Bunda Theressa mengajarkan untuk mencintai orang-orang atau anak anak yang gak makan, terlantar di pinggir jalan. Dia tidak pernah mengatakan ini lho Tuhan. Tapi Bunda Teresa paham betul, bahwa jelmaan Tuhan di bumi adalah orang miskin,” contoh Munawar.  Ia menambahkan, itu pula yang dikatakan oleh Nabi Muhammad dan Ibrahim.
Anak-anak penuh semangat
Banyak yang tidak paham bahwa Sekolah Rakyat merupakan bagian dari sekolah negeri. Bedanya, hanya kelasnya yang terletak di gunung. “Kita punya nis (nomor induk siswa), raport dan mereka ikut Ujian Nasional. Ijazahnya adalah dari induk,” Munawar meyakinkan.
Ia menyontohkan lewat TKBM amanah batasa yang berada di Caringin. Induknya ada di SMPN 1 Cigombong. Jadi SMP 1 Cigombong inilah yang akan mengeluarkan ijazahnya. Mereka juga tercatat namanya di SMPN1 Cigombong.
Mereka semua terjamin. Makanya Munawar selalu membesarkan jiwa mereka dengan kata-kata, “kalian tuh sama dengan anak-anak yang di kota.”  Harapannya agar anak-anak tidak minder dan seperti di bawah.
Awal dibukanya sekolah ini, anak-anak muridnya banyak yang malu menatap muka orang yang baru mereka kenal. Biasanya mereka selalu menunduk. Namun, hal itu dengan cepat teratasi lewat program yang dilakukan oleh Sekolah Rakyat Bogor.
“Mereka punya mimpi besar jadi dokter, pengusaha besar. Kita selalu mengakomodirnya lewat program rutin kelas profesi,” ujar Munawar. Jadi, Munawar menambahkan ada beberapa profesi yang dihadirkan ke kelas-kelas.
“Misal, ingin jadi polisi, kita hadirkan polisinya. Lengkap dengan seragam dan materi yang mereka punya,” Munawar menyontohkan.  Ia mengungkapkan kelas ini berguna agar ilmunya dapat dengan cepat terserap di otak para anak-anak.
“Esensinya adalah ilmu yang disampaikan pada anak-anak itu langsung menempel ke otak kanan. Kalau mengantarkan jadi orang suskes, kasih coaching,” kata Munawar yang percaya bahwa cara belajar seperti itu sangat cepat.
Belajar itu sendiri seperti yang dilontarkan Socrates dan Plato merupakan mengulang kembali yang ada di dalam diri kita. “Kenapa kita berani membetulkan pernyataan orang lain. Jawabannya, karena memang sudah ada dalam diri kita,” kata Munawar.
Belajar merupakan kegiatan mengulangi yang ada di dalam diri setiap orang. Jadi, sambung Munawar, jika memakai terminologi ini, tidak ada anak yang bodoh. Dari terminologi itu, sangat jelas bahwa manusia memiliki potensi yang sama untuk maju.
“Semua berpotensi jadi mutiara. Kalau mau mutiaranya bersinar, ya lumpurnya dihilangin. Manusia adalah mutiara yang sesungguhnya. Pendidikan punya tugas untuk mengasah mutiara kecil agar berkilau dan bersinar,” ungkap Munawar meyakinkan.(Sbh)

Friday, February 28, 2014

Munawar: Negeri Ini Butuh Pemimpin yang Paham Pendidikan

Penulis: Kahfi Dirga Cahya

Munawar, Inisiator Sekolah Rakyat Bogor/ Foto: KahfiMunawar, Inisiator Sekolah Rakyat Bogor/ Foto: KahfiTak dapat dipungkiri, dunia pendidikan merupakan gerbang untuk membangun bangsa yang lebih baik. Semua berbekal sumber daya yang mumpuni guna menciptakan suatu hal yang bersifat pembaruan. Tidak hanya itu, tapi juga berguna bagi pembangunan negara, dalam hal ini Indonesia.
Setiap negara ihwalnya punya rancangan sendiri terkait sistem pendidikannya. Dimana hal itu akan menentukan kemana arah output hasil pendidikan tersebut. Dan, itu yang kemudian membuat suatu bangsa besar. Sumber daya manusia yang punya kapabilitas.
Biasanya, rancangan pendidikan dibuat oleh pemimpin di sebuah negara. Idealnya, mereka akan menetapkan secara pasti, terkait sistem apa yang akan dipakai. Bangsa yang mapan tentunya tak akan berani mengganti sistem pendidikan yang sudah mapan.
Namun, yang terjadi—bangsa di luar itu, akan mudah berganti sistem pendidikan. Sehingga hasilnya jauh dari harapan. Hal ini pun terjadi di Indonesia. Negara yang dipijak oleh kita, belum punya standarisasi yang jelas mengenai sistem pendidikan. Alhasil, yang didapat jauh dari harapan.
Untuk itu, mendekati pemilu 2014 ini perlu dilihat bersama bahwa memilih pemimpin bukan sekadar berorientasi pembangunan (gedung dan ekonomi) semata. Tapi, bagaimana menghasilkan sumber daya manusia yang baik lewat pendidikan.
Majukan pendidikan
Inisiator Sekolah Rakyat Bogor, Munawar M. Ali mengatakan pada TNOL (28/2) bahwa perlu seorang pemimpin yang paham tentang dunia pendidikan. Sehingga masyarakat pada akhirnya dapat menuai hasil dari pendidikan dengan memuaskan.
“Poinnya, salah satunya adalah untuk bisa melahirkan dunia pendidikan yang bagus butuh pemimpin yang mengerti dunia pendidikan,” ujar Munawar yang mempersembahkan sekolahnya untuk masyarakat umum secara gratis.
Dunia pendidikan di Indonesia nyatanya memang perlu pembenahan dari berbagai sisi. Terutama dari segi ‘pengetuk palu’—dalam hal ini pemerintah. Sampai sekarang, pemerintah menurut penilaian Munawar tidak punya political will untuk memajukan pendidikan.
“Mendikbud (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) itu seharusnya orang yang memiliki political will. Sehingga pada akhirnya dapat memajukan dunia pendidikan Indonesia,” jelas Munawar.
Pasalnya, pemerintah di Indonesia dalam dunia pendidikan hanya berpikir keuntungan semata. Munawar sendiri melihat pendidikan di Indonesia merupakan bagian dari penerapan konsep komersialisasi pendidikan.
“Dunia pendidikan di Indonesia hanya mencari bagaimana bisa dapat keuntungan finansial. Maka, komersialisasi pendidikan di Indonesia luar biasa,” Munawar menilai.
Ia menuturkan banyak teman-temanya yang kuliah di luar negeri kemudian berkunjung ke Indonesia merasa kaget dengan sistem dan biaya pendidikan di sini. Salah satunya adalah mahalnya biaya untuk mendapatkan ilmu.
“Teman-teman saya yang kuliah di luar, terkaget-kaget dengan dunia pendidikan Indonesia yang sangat mahal,” cerita Munawar.
Di Indonesia sendiri banyak pendapat yang berkembang bahwa kalau ingin mendapatkan ilmu perlu biaya yang cukup tinggi. Hal itu juga diamini oleh Munawar. “Kalau mau mendapatkan pendidikan kualitas bagus, maka harus bayar mahal,” jelas Munawar.
Termasuk dia sendiri yang juga harus mengeluarkan biaya mahal untuk sekolah anaknya. Hanya untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus tentunya.
“Saya juga harus bayar mahal untuk mendapatkan pendidikan yang bagus bagi anak saya,” ucapnya mengkritisi.
Belajar dari Negeri sebrang
Jepang tentunya merupakan negara yang harus dicontoh dalam dunia pendidikan. Pasalnya, negara matahari terbit itu pernah diguncang oleh bom besar, namun tindakan yang dilakukan untuk menyelematkan negaranya adalah lewat dunia pendidikan.
“Setelah kejadian itu, Kaisar Jepang langsung mengumpulkan para guru yang ada untuk dikuliahkan lagi agar bisa membangun Jepang,” cerita Munawar.
Selain itu, Malaysia yang pernah dikirim guru oleh Indonesia di tahun 70-an merupakan contoh lain yang perlu diikuti. Nyatanya, sekarang malah negaranya jauh lebih maju di sistem pendidikannya. Salah satunya lewat program Mahatir Muhammad yang menyuruh untuk menguliahkan para guru.
Lebih miris lagi, sekarang Indonesia malah jadi salah satu pengimpor TKI (Tenaga kerja Indonesia) ke Negara Itu. “Kemarin saya diundang ke Malaysia, saya menggelengkan kepala, pendidikannya sangat bagus,” tutur Munawar.
Banyak persepsi yang tidak mengenakkan dari proses pendidikan di Indonesia. “Pendidikan di Indonesia berjalan di tempat. Kalo dikatakan mundur, iya,” kata Munawar.
Karenanya, ia menawarkan bahwa harus ada inventarisasi terhadap tokoh-tokoh—terutama anak-anak muda Indonesia yang cerdas. “Kalo meminjam kata Muhammad Natsir, kita harus melakukan inventarisasi tokoh-tokoh kita,” harapnya.
Ia juga menilai bahwa banyak anak-anak muda Indonesia yang cerdas. Apalagi anak-anak muda yang ada di luar. Mereka dibajak di luar oleh kepentingan asing, dalam kata lain Negara lain. “Kenapa presiden gak panggil mereka. Siapkan tempat buat mereka berkreasi. Besarkan bangsa sendiri,” jelas Munawar menyayangkan.
Ia berharap di era sekarang ini, Indonesia lebih meperhatikan lagi pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan. “Di era reformasi, coba kita jadikan pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan,” tutup Munawar memastikan.(Sbh)

Thursday, February 27, 2014

Arti Anak Buat Orang Tua

Anak adalah amanah (titipan) Allah buat orang tuanya. Karena dia merupakan titipan, maka sudah sewajarnya bagi orang tua yang dititipi amanah harus menjaga, memelihara dan mengayominya agar mereka tumbuh dan besar sesuai harapan yang telah memberi amanah, yaitu Allah Ta'ala.

Di samping itu anak membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya, sebagaimana Tuhan telah menyayangi dan mencintai para HambaNya. Bahkan ada yang bilang: "Anak adalah harta yang mahal buat orang tuanya". Artinya anak merupakan future (masa depan) buat orang tua dan keluarganya.

Sehubungan dengan persoalan di atas, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkata: " Didiklah anak anakmu dengan ilmu yang sesuai dengan zamannya.Karrena mereka hidup bukan pada zaman kalian". Pernyataan Imam Ali di atas, mempunyai makna yang jauh ke depan (visioner), di mana orang tua dituntut untuk mendidik dan membimbing putra putrinya dengan ilmu pengetahuan dan berusaha keras untuk memperkenalkan Tuhan kepada anak-anaknya. Dengan demikian anak-anak kita akan tumbuh ddan berkembang menjadi anak yang paham akan makna dan tujuan hidupnya dan yang lebih penting adalah mereka mengenal Sang Penciptanya - yaitu Allah SWT. Alhasil, orang tua yang mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang akan berhak mendapatkan predikat sebagai orang tua yang baik. Dan akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang dari Tuhannya di akhir hayatnya. Sebagaimana bunyi doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. yang berbunyi:" Ya Tuhanku...Ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan sayangilan mereka berdua sebagaimana mereka telah menyanyangiku di waktuku kecil".

Dari teks doa tersebut sangat terlihat bahwa orang tua yang akan mendapatkan kasih sayang dan ulurang tangan anak-anaknya di masa tuanya adalah mereka yang telah menginvestasikan kasih sayangnya untuk anak-anaknya di waktu mereka masih kecil. Itulah poin penting yang bisa kita petik dari substansi doa yang selalu kita pintakan buat kedua orang tua kita selama ini.

Doa yang yang sudah turun temurun ini, mengajarkan kepada kita bahwa betapa pentingnya memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang dalam kehidupan mereka, agar mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tahu berbalas budi alias berakhlak mulian kepada orang tuanya atau lingkungan sekitarnya.

Sebliknya orang tua yang memperlakukan anak-anak mereka dengan kekerasan atau dengan perilaku yang tidak baik atau kasar, maka anak-anak mereka pun akan tumbuh dan besar menjadi anak-anak yang memiliki perangai yang tidak baik pula.  Di sini akan berlaku hukum causalitas - hukum sebab akibat. Meminjam ungkapan Kahlil Gibran: "Anak adalah ibarat anak panah yang dilepas dari busurnya". Artinya orang tua mempunyai andil yang besar dalam mengarahkan dan membidik anak panah dari busurnya, sehingga dapat mengenai sasaran denga tepat dan jitu. Dengan kata lain, perilaku atau akhlak  anak-anak kita sangat bergantung bagaimana bimbingan dan didikan orang tua dan lingkungannya.

Sebagai penutup, Anak-anak kita adalah masa depan atau "sejarah masa depan" kita sebagai orang tuanya. Oleh karenanya, mereka harus mendapatkan hak-hak hidupnya sebagai anak-anak. Biarkan mereka tumbuh dan berkembang dengan alamiah dan fitrahnya sebagai anak-anak yang cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional dan cerdas secara spiritual.

Wallahu a'alam..

Tuesday, February 25, 2014

Semangat Ilmu untuk Membantu Masyarakat...

Alkisah seorang murid yang sudah belajar bertahun-tahun pada seorang guru di sebuah gunung. Pada suatu malam gurunya berkata, "Kamu boleh pergi sekarang dan kembalilah ke dunia kehidupanmu sehari-hari".

Sang murid menjawab, Tuan guru, saya sungguh belum mempunyai rencana seperti itu dan bahkan tidak mengharapkan hal itu akan terjadi. Saya masih ingin terus tinggal di gunung yang sepi dari kebisingan kehidupan kota sehingga bisa terus belajar meditasi dan menyempurnakan diri di bawah bimbingan guru".

Tetapi sekarang justeru tiba-tiba gurunya yang mengubah semua itu.

Gurunya melanjutkan, "kembalilah ke dunia dan amalkan ilmu yang telah kamu pelajari untuk kebaikan masyarakat".

Dialog singkat sang Guru dengan muridnya di atas, adalah cerminan buat siapa pun yang pernah menuntut ilmu, untuk kemudian ilmu yang telah didapat bisa diamalkan dengan baik dan bermanfaat banyak untuk membantu manusia lain. Itulah prinsip dasar yang harus dilakukan oleh orang yang menuntut ilmu di mana pun mereka berada, yaitu menjalankan ilmunya untuk kepentingan masyarakat luas.

Dari cerita pendek di atas, mengingatkan saya kepada pesan Imam Syafii kepada pengikutnya, : "Sebelum menjadi pemimpin, maka belajarlah yang banyak, karena kalau kalian sudah menjadi pemimpin, maka tidak ada lagi waktu untuk belajar". Artinya ketika kita sudah menjadi pemimpin, waktu kita akan habis untuk melayani masyarakat siang dan malam. Karena hakikat jadi pemimpin adalah menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpin.

Sangat benar apa yang disampaikan oleh Imam Syafii dan sang Guru tadi, bahwa setiap kita diharuskan untuk mencari ilmu sebanyak mungkin selagi belum menerima amanah untuk memimpin masyarakat. Namun ketika ilmu sudah didapat, ada kewajiban untuk menyampaikannya untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Intinya adalah... Semangat ilmu hanya untuk membantu dan mensejahterakan manusia.

Selamat berkarya untuk kemajuan diri dan masyarakat luas!