“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. ( QS. An Nisa’: 9)
Masalah semakin merosotnya akhlak (moral) di kalangan para elit pemerintahan, penyelenggaraan pendidikan yang carut marut, praktek korupsi berjamaah, penyalahgunaan narkoba, pembunuhan dan tindakan kekerasan di berbagai daerah, dan masih banyak lagi tindakan amoral lainnya yang kita tonton di negeri ini. Semua persoalan tersebut, seakan tidak pernah selesai dan kian hari semakin bertambah, oleh karena tidak ada yang diproses dengan tuntas di ranah hukum.
Mencermati fenomena sosial akhir-akhir ini, kadang-kadang membuat hati kita tersentak, karena begitu banyaknya persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Apalagi kalau kita kaitkan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang.
Apa yang sudah disebutkan di atas, adalah fenomena gunung es yang kalau dibiarkan akan membuat letupan yang begitu besar dan bahkan bisa menghancur leburkan tatanan kebangsaan kita. Belum lagi kalau kita perhatikan efek dari dekadensi moral tersebut, yang biasanya membawa kita semua kepada keterpurukan yang mendalam. Misalnya, munculnya kemiskinan, kejahatan di mana-mana, menjamurnya anak-anak usia sekolah yang beralih profesi menjadi joki tree in one - bahkan menjadi pengamen jalanan, pemutusan tenaga kerja secara besar-besaran, penipuan, dan lain sebagainya akan menjadi tontanan wajib kita semua. Semua itu terjadi karena kurangnya kepedulian dan kemauan melakukan perubahan dan tidak adanya kepastian hukum di negara kita.
Adalah Dr. Ali Syari’ati, seorang cendekiawan terkemuka, murid sekaligus pengagum Ayatullah Khomaini (Tokoh pencetus revolusi Iran). Lewat sebuah ceramahnya yang telah dibukukan, beliau sampaikan pesan untuk para intelektual muslim, bahwa tugas pokok para cendekiawan (ilmuwan) adalah memberi perubahan dan pencerahan kepada masyarakat luas. Kaum cerdik pandai harus mengambil peran seperti yang pernah dimainkan oleh para Nabi dan Rasul di masa lampau. Yang menjadi kekuatan moral yang sangat penting dalam proses perubahan yang dialami oleh kaumnya. Begitu pula layaknya para ilmuwan itu, mereka tidak boleh larut dalam kesenangan duniawi dan “melacurkan” diri pada sebuah kenikmatan yang sifatnya sesaat. Sehingga mengalihkan mereka pada tugas pokoknya untuk memberikan pencerahan terhadap ummat dan masyarakatnya. Cendekiawan (ilmuwan), meminjam istilahnya Almarhum Dr. Kunto Wijoyo, harus “berani” miskin. Yaitu miskin materi dan miskin jabatan. Mereka harus menjaga dirinya agar tetap selalu “merdeka” dari kunkungan keinginannya yang besar akan kenikmatan duniawiah.
Kembali ke Dr. Syari’ati, dalam terminologinya, seorang cendekiawan mau tidak mau harus melibatkan dirinya dalam upaya memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Berbuat sesuatu yang konkrit untuk kemaslahatan masyarakatnya. Karena kalau tidak, maka mereka tidak bisa disebut dengan cendekiawan atau ilmuwan. Namun yang terjadi belakangan ini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa budaya hedonis (baca materialistis – hidup mewah) menjangkiti para elit dan penyelenggara pemerintahan kita. Kondisi ini semakin memperparah keadaan bangsa Indonesia. Terlebih lagi kalau kita perhatikan akibat dari perilaku-perilaku koruptif yang meraja lela di berbagai lini kehidupan kita. Maka akan semakin jelas keprihatinan kita terhadap kondisi bangsa ini.
Saatnyalah bagi semua steakholder bangsa ini, untuk memikirkan bagaimana fokus pembangunan manusia Indonesia yang lebih baik ke depan. Karena tantangan kita di masa yang akan datang jelas semakin berat, sebab kita berada pada posisi persaingan bebas yang melibatkan semua negara di dunia. Oleh karenanya kaum cerdik pandai di negara ini, harus mengambil bagian yang jelas untuk menyusun strategi dalam mengatasi persoalan clean goverment, keterbelakangan (kebodohan), ekonomi (kemiskinan) , budaya (kultur masyarakat yang mulai tergerus oleh budaya asing) dan pertahanan teritorial untuk menjaga kedaulatan bangsa.
Dari sekian banyak persoalan yang disebutkan di atas, yang sangat mendesak dilakukan pembenahan adalah persoalan pendidikan. Yang menurut hemat saya perlu diperbaiki, demi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Mengapa pendidikan? Karena lewat pendidikanlah Sumber Daya Manusia (SDM) sebuah bangsa bisa diukur, dan kualitas SDM nya bisa bersaing dengan SDM negara-negara lainnya di era globalisasi ini. Oleh sebab itu, para cendekiawan tidak bisa berada di “Menara Gading” atau merasa asyik dengan aktivitasnya sendiri, mereka harus turun gunung untuk bekerja dengan lebih keras lagi, demi kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah di mana pun mereka berada.
Upaya ini perlu dilakukan, agar jangan sampai kita mewariskan generasi penerus bangsa yang disinyalir oleh Tuhan dalam Al Qur’an surah An Nisa’ : 9 diatas, yaitu generasi yang lemah – lost generation. Generasi bangsa yang lemah ilmunya, lemah akhlaknya (moralitasnya) dan lemah dalam etos kerjanya.
Semua ini adalah tanggung jawab para cendekiawan untuk mendidikan dan mengarahkan mereka menuju pada masyarakat yang dicita-citakan oleh Nabi yaitu “Masyarakat Madani”, yakni masyarakat yang berperadaban - yang menjadikan ilmu pengetahuan dan akhlak Islami sebagai fondasi yang kuat dalam mengelola kehidupan bermasyarakat.
Allahu a’lam..
No comments:
Post a Comment