Tuesday, January 10, 2012

Peran Guru dan Perubahan Sikap Peserta Didik



Teori terpenting dalam ilmu perubahan perilaku manusia adalah kemampuan seseorang untuk sadar atas apa yang akan dilakukan. Kesadaran (awareness) menduduki urutan pertama dalam tahap perubahan perilaku seseorang. Mengajar untuk sebuah perubahan tidak hanya ditujukan kepada siswa, tetapi juga dimaksudkan untuk para pendidik. Karena dengan mengajar seorang guru akan semakin memahami perubahan pemahaman maupun sikapnya, sehinggap mampu mengukur sejauh mana dia mengalami perubahan dalam dirinya. Begitu juga pada tataran siswa, dengan belajar, mereka diharapkan akan mengalami perubahan pemahaman keilmuan maupun sikapnya dalam berbicara maupun bertindak.

Tentu yang dimaksud dengan perubahan di sini adalah perubahan pada diri sendiri. Ada sebuah ungkapan yang berbunyi: “Merubah diri sendiri sama halnya dengan melakukan perubahan untuk dunia”.

Pernyataan tersebut kesannya memang terlalu berlebihan. Akan tetapi begitulah kenyataannya, bahwa dengan memulai melakukan perubahan pada diri masing-masing, akan membawa perubahan yang semakin besar pada lingkungan di mana kita tinggal, bahkan pada skala yang jauh lebih besar lagi. Maka tidak salah, ketika Nabi ditanya bagaimana cara terbaik untuk merubah kebiasaan masyarakat? Rasulullah Saw. menjawab dengan kalimat yang pendek tapi berisi: “Ibda’ bi nafsika”, yang artinya: “Mulailah dengan dirimu sendiri”. Karena nabi sadar betul bahwa dengan melakukan perubahan pada diri sendiri dan komit terhadap apa yang dilakukan, maka akan mampu merubah pandangan banyak orang tentang makna penting sebuah perubahan.

Lalu kenapa harus memulai pada diri sendiri? Karena hanya diri sendiri yang akan mampu memulai perubahan, bukan orang lain! Dan di dalam diri setiap kita, ada “potensi Illahiah” atau potensi ke-Tuhanan yang menjadi kekuatan setiap orang. Dan potensi inilah yang harus digali dan dieksplor dengan baik, sehingga mampu memberi warna dalam proses belajar mengajar yang ditempuh oleh setiap orang.

Dalam kaitannya dengan hal ini, tugas Guru menjadi sangat menentukan setelah peran orang tua siswa di rumahnya, yaitu menfasilitasi dan mengarahkan anak didiknya agar mengalami perubahan. Misalnya, dari yang belum paham menjadi paham, yang malas menjadi rajin, yang agresif menjadi terkendali, yang sombong menjadi rendah hati, dari berbicara yang tidak senonoh menjadi bertutur kata yang indah, dan lainnya. Intinya sang Guru akan menfungsikan dirinya untuk meraih kesadaran bagi siswanya. Kesadaran bahwa belajar adalah mengulang kembali apa yang sudah ada dalam diri mereka. Dan belajar merupakan jembatan untuk mencapai cita-cita sukses dan mengukir sejarah masa depan yang gemilang. Semangat kesadaran seperti ini, harus menjadi pegangan bagi setiap guru ketika memasuki ruangan kelas sekolah. Agar anak didiknya terbangun sikap optimisme yang tinggi dalam perubahan sikap dasarnya yaitu terciptanya keinginan dan kebutuhannya yang tinggi untuk selalu belajar.
Untuk menunjang hal ini, guru sendiri perlu melakukan penyadaran sikap belajar sebagai proses pemahaman terhadap peserta didiknya. Melakukan inovasi-inovasi baru dalam hal metode belajar di kelas. Dengan menjadikan kelas sebagai “Orkestra”, bukan “kuburan” yang sepi dari kreativitas peserta didiknya. Menjadikan peserta didiknya sebagai “Subjek” bukan “Objek”, sehingga peserta didik diberi ruang untuk selalu melakukan kreativitas – kreativitas baru dalam proses belajar mengajar.
Pada kondisi ini, guru berfungsi sebagai fasilitator bukan yang menguasai forum. Di mana para siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan bakat dan potensi dirinya. Para siswa lagi-lagi tidak hanya dianggap sebagai “bank”, yang berfungsi sebagai wadah untuk menampung informasi atau ilmu pengetahuan. Mereka (siswa) memiliki hak untuk meng-eksplorasi dirinya sejauh mungkin, demi kemajuan dan perubahan mereka ke arah yang jauh lebih baik lagi. Karena di sinilah letak atau esensi dari “belajar” itu sendiri.

Thursday, January 5, 2012

TAKWA SEBAGAI SARANA MENGGAPAI CINTA ILLAHI



“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS. Al Hujarat:13)

Secara semanti (bahasa) kata takwa berasal dari rumpun kata wiqayah yang berarti: “menjaga diri”. Yaitu menjalin tali cinta kasih kepada Yang Maha Kasih (hablun min Allah). Menjaga diri agar tidak terperosok ke dalam lembah kehinaan, menjaga diri agar selalu dekat denganNya. Atau penjelasan yang pernah diberikan oleh Agust Comte, yaitu Omni Present – yaitu selalu hadirnya Tuhan dalam diri kita. Inilah makna generik dari kata takwa yang selalu diserukan oleh para khatib tiap naik mibar jum’at. Dan menjadi impian setiap orang yang percaya akan adanya Allah sebagai Tuhan yang satau-satunya untuk disembah.

Dalam sebuah hadis Baginda Rasul Saw, menggambarkan dengan bahasa yang sederhana makna takwa ini, beliau mencoba menjelaskannya dengan bahasa keseharian manusia, sebagaimana terungkap lewat hadisnya di bawah ini:
“Pernahkah anda menjumpai jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu? Orang itu menjawab: “Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tiada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur”. Nah, itulah arti takwa, jawab Rasulullah Saw”. (HR. Ibnu Abid dari Abu Hurairah)

Dari keterangan dan bunyi hadis di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa takwa itu adalah usaha yang berkelanjutan dan konsisten (baca istiqomah) agar tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang khaliq, sehingga hati kita akan tetap mengigat-Nya dalam kondisi apa pun. Jadi pengertian mengelak dari tusukan duri, adalah belajar dengan sungguh-sungguh membina konsistensi diri agar tidak merasakan sakitnya tertusuk duri. Maka dalam proses pembinaan diri dan pengendalian hawa nafsunya, manusia membutuhkan petunjuk (hidayah) yang berupa kitab sucinya. Karena fungsi kitab suci (Al Qur’an) yang terpenting adalah sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (QS.2:2). Dalam surat Al Fatihah juga kita diingatkan agar selalu meminta petunjuk kepada Allah berupa jalan yang lurus, yaitu jalan yang mendapatkan keridhaan dari-Nya, dan bukan jalan kesesatan yaitu jalan thagut. Di sinilah mengapa Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita supaya mengelak dari duri tersebut, sehingga tetap berada dalam naungan kasih-Nya (keridhaan-Nya).

Sifat dan Ciri Orang yang Bertakwa

Bagaimana sifat dan ciri orang yang betakwa itu? Dalam sebuah riwayat , seorang sahabat Imam Ali ra. yang bernama Hammam, yang dikenal sebagai seorang ‘Abid (ahli ibadah) bertanya kepaddanya: “Wahai Amirul Mukminin, gambarkanlah untukku sifat dan ciri-ciri kaum muttaqin, sehingga aku seolah-olah memandang kepada mereka”. Mula-mula Imam Ali segan memenuhi permintaan itu, lalu ujarnya: “Wahai Hammam, bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah kebajikan, sebab Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan”.

Mendengar jawaban itu, Hammam belum merasa puas dan mendesak sekali lagi, sehingga Imm ali terpaksa memenuhi permintaan sahabatnya tersebut. Menurut Imam Ali ra. kaum muttakin memiliki sifat-sifat terpuji, sebagai berikut:
1.        Kebenaran merupakan inti ucapan mereka. Kata “kebenaran” adalah kata kunci yang menjadi pegangan bagi mereka yang haus akan cinta Rabbnya. Seluruh ucapan dan gerak-geriknya tetap berlandaskan pada kebenaran Illahiah, yaitu kebenaran yang menghantarkan mereka pada tahapan (maqam) yang tinggi di sisi Tuhannya. Orang yang bertakwa selalu mencari dan berusaha dengan sekuat tenaga agar tetap berada dalam naungan kebenaran. Karena Tuhan sendiri adalah “sang Kebenaran Absolut”.
2.       Kesederhanaan adalah “pakain” mereka dan kerendahan hati mengiringi gerak langkahnya. Sifat ini banyak dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah Saw., seperti Abubakar ra. yang rela hidup sederhana dan hampir semua harta miliknya dipakai untuk keperluan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Begitu pula Umar bin Khattab ra. dan sahabat-sahabat lainnya. Mereka semua menjadikan kesederhanaan sebagai pakaian kesehariannya . Di samping itu, ketinggian pangkat dan semakin banyaknya ilmu, tidak membuat mereka lalu lupa diri, apalagi melupakan Tuhannya. Mereka tetap rendah hati walaupun bergelimangan dengan harta, karena mereka tahu bahwa harta dan kedudukan bukan menjadi tujuan hidupnya. Seluruh waktunya dimanivestasikan dalam bentuk penghambaan kepada Tuhan yang telah menghadirkan mereka di muka bumi.
3.       Menggunakan pendengaran mereka hanya untuk mendengarkan ilmu yang bermanfaat. Allah menciptakan seluruh anggota badan ini, tiada lain agar manusia bisa memanfatkannya kepada hal-hal yang terpuji. Yaitu kepada urusan yang membawa kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Bukan sebaliknya dipakai untuk menghancurkan dan membawa prahara bagi diri dan orang lain. Pendengaran adalah salah satu organ tubuh yang dianggap mampu menangkap pesan-pesan Illahiah, pesan kedamaian, pesan keharmonisan, pesan ketakwaan, dan pesan-pesan lain yang penuh makna di dalamnya. Dari anggota tubuh ini tumbuh kepekaan nurani yang membuat manusia selalu merindukan Tuhannya. Semua yang ia dengar berubah menjdi kalam atau firman suci dari Tuhannya. Yang kemudian melahirkan rasa cinta yang mendalam atau penghargaan yang tiada tara. Pada taraf inilah orang-orang yang bertakwa mampu mendapatkan ilmu yang sangat mendalam (al hikmah), yang membuat hati mereka selalu terpaut dengan lautan cinta Sang Maha Kasih.
4.       Sabar dalam mengahadapi cobaan, begitu pula dalam menerima kenikmatan dari Tuhannya. Jiwa orang yang bertakwa selalu diliputi dengan ketenangan dalam menghadapi cobaan hidup, begitu pula ketika menerima nikmat dari Allah. Sungguh agung Sang Pencipta dalam hati mereka, sehingga apa saja selain Dia, menjadi kecil sekali dalam pandangannya. Begitu kuatnya keyakinan mereka tentang syurga, sehingga mereka merasakan kenikmatannya seolah-olah telah melihatnya. Dan begitu kuat keyakinan mereka tentang neraka, sehingga mereka merasakan azabnya dan mereka berusaha menghindar darinya. Hati mereka selalu diliputi kekhusyu’an. Mereka selalu menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong di sisi Tuhannya, karena mereka yakin bahwa orang-orang yang sabar akan bersama dengan Tuhannya. (QS.2:153).
5.       Mencintai Al Qur’an, sehingga mereka membaca dan mengamalkan kandungannya setiap saat. Di malam hari, mereka bangun untuk menjalin hubungan sembunyi dengan Tuhannya (tahajjud), membaca ayat-ayat tentang kebesaran Tuhannya dan menjadikan Al Qur’an sebagai penawar bagi segala penderitaannya. Mereka menjadikan kita sucinya sebagai media yang agung untuk berdialog dengan Sang Maha Kasih, yaitu Allahu Jalla Jalaaluhuu (Dzat Yang Maha Agung dan tiada duanya di alam raya ini). Dengan membaca Al Qur’an, mereka mengkhususkan dirinya untuk menjadi hamba Allah yang baik, yaitu orang yang cinta perdamaian, mencintai sesama tanpa melihat perbedaan warna dan latar belakangnya dan bahkan mencintai semua makhluk Tuhan di bumi.
6.       Teguh dalam menjalankan Agamanya. Keseharian mereka, tampak keteguhan yang penuh dengan keseriusan dalam menjalankan agama Allah (Al Islam). Mereka selalu patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya. Senantiasa menjaga keimanan dan berusaha untuk komit terhadap perjanjian awalnya di alam arwah dulu. Yaitu akan selalu menyembah Allah sebagai Tuhan satu-satunya, tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Mereka mengerjakan amal-amal shaleh tanpa kenal lelah dan selalu ihlas dalam beribaah kepada Tuhannya. Nafsu mereka selalu terjaga terhadap perbuatan-perbuatan yang tercela dan nista, karena mereka sadar bahwa perbuatan tersebut akan membawa mereka terperosok ke dalam jurang kesengsaraan.
7.       Suka meminta dan memberi maaf kepada sesamanya. Sifat atau ciri ini, bisa dibilang sifat yang jarang dimiliki oleh orang yang hanya mengaku ber-Islam, alias tidak semua orang yang beragama Islam memiliki sifat ini. Misalnya, ada orang yang mau meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya kepada kita, kadang-kadang masih banyak di antara kita yang senang memilihara dendam kesumat, ketimbang membuka hati untuk memaafkannya. Atau sebaliknya, kita juga begitu susahnya untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah kita perbuat terhadap saudara kita lainnya. Hal ini biasanya terjadi karena kita masih memiliki ke-aku-an (ego) dalam diri kita. Merasa bahwa kita adalah yang terbaik dari orang lain, yaitu merasa malu, hina, rendah, kalau seandainya meminta maaf duluan kepada saudara sendiri. Terlebih lagi kepada orang yang lebih rendah strata sosialnya. Rasulullah Saw. sebagai tauladan kaum muttaqin, adalah figur yang pantas untuk diikuti dalam hal ini. Betapa tidak, dengan kedudukannya yang begitu tinggi, sebagai Nabi dan Rasul, pemimpin umat, bahkan sebagai kekasih Allah, beliau tidak pernah sombong, angkuh, apalagi berbuat sewenang-sewenang terhadap orang yang lemah (kaum mustadh’afin). Saking cintanya kepada manusia, tidak tersisa sedikit pun rasa benci dan dendam dalam dirinya terhadap musuh-musuhnya. Sifat seperti ini, terlihat jelas ketika beliau diludahi, dilempari dengan kotoran unta, dicaci maki, bahkan beberapa kali diancam untuk dibunuh oleh para musuhnya, namun tidak menjadi alasan untuk membalas dengan perilaku yang setimpal, apalagi meminta dukungan untuk menghancurkan mereka. Karena Nabi sadar betul akan tujuan kehadirannya di bumi, yaitu sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.

Inilah tujuh ciri utama mereka yang bertakwa yang digambarkan oleh Imam Ali ra. kepada Hammam. Dan bagi kita yang ingin menggapai taraf – maqam - ketakwaan seperti ini, maka sudah barang tentu harus dengan sungguh-sungguh menjalankan apa yang sudah diuraikan di atas. Semoga dengan cara ini kita akan bisa menggapai “Cinta Illahi” dengan penuh keridhaan dari-Nya. Allahu a’alum.

Monday, January 2, 2012

Melayani, Bukan Dilayani

"Tidak semua orang mau melayani. Namun banyak sekali dari kita yang ingin dilayani"

Ungkapan pendek di atas, mewakili realitas kehidupan kita saat ini. Umumnya, kita maunya dilayani dan diperlakukan bak raja oleh saudara kita sendiri. itulah sifat manusia yang kadang angkuh dan sombong dalam menjalani hidup. Kalau kita mau belajar dengan rendah hati dari para generasi pertama Islam, mereka semua tampil sebagai pemimpin yang rendah hati, penegak keadilan dan sekaligus pelayan bagi rakyatnya.

Misalnya cerita Umar Bin Khathab ra. yang tidak segan-segan memanggul sendiri karung-karung gandum untuk melayani rakyatnya yang sedang mengalami kelaparan. Begitu pula kisah Umar bin Abdul Azis, yang sering disebut Umar II karena memiliki karakter yang hampir sama dalam memimpin rakyatnya. Suatu malam, ketika sedang menulis, ia kedatangan tamu. Padahal lampunya hampir padam, minyaknya tinggal sedikit dan nyaris habis.

"Biarlah saya yang membesarkan nyalanya," tamu itu menawarkan diri. 

"Jangan, tidak sopan menjadikan tamu sebagai pelayan," kata Umar.

"Kalau begitu saya panggilkan pelayan".

"Tidak usah, dia baru saja tidur." Lalu Umar bergegas untuk mengisi minyak lampu itu.

"Amirul Mukminin, Anda lakukan sendiri?"

"Saudaraku, jawabnya, "Aku melangkah dari sini sebagai Umar, bukan sebagai khalifah (baca presiden), dan akan kembali sebentar lagi tetap sebagai Umar."

Dua Umar di atas, adalah contoh pemimpin Islam generasi awal yang selalu berpihak kepada nasib rakyat kecil. Mereka berdua benar-benar menjalankan ajaran Nabi dan ke - tawadhu'an nya tidak diragukan lagi. Sama-sama menafkahkan sebagian besar harta bendanya untuk membantu masyarakat yang miskin agar bisa bertahan hidup. Dan tidak segan-segan turun tangan langsung ketika melihat rakyatnya yang sedang membutuhkan pertolongan.

Sikap pemimpin seperti dua Umar tersebut, memang agak sulit kita jumpai pada era modern ini. Keserakahan, tamak pada harta, angkuh dan penindasan terhadap rakyat yang lemah kerap dipertontonkan oleh mereka yang bernama pemimpin saat ini. Semua itu terjadi karena para pemimpin modern menganggap rakyatnya sebagai pelayan. Bagi mereka (pemimpin), pelayan memang kodratnya untuk diperbudak bukan untuk mendapatkan pelayanan yang manusiawi. 

Pada hal, kalau seandainya para pemimpin itu tahu tanggungjawabnya, maka mereka pasti melakukan hal yang sama seperti yang pernah dijalankan oleh Umar bin Khathab dan Umar bin Abdul Azis. Yaitu memimpin dengan penuh kasih sayang, rendah hati, melayani kebutuhan rakyatnya dengan sepenuh hati. Karena sesungguhnya pemimpin adalah amanah, yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawan oleh Tuhan.

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya ingin mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Abdullah Ar-Razy, seorang (pemimpin) yang tawadhu' - rendah hati, berarti dia tidak akan membeda - bedakan manusia dalam memberikan pelayanan. Karena rendah hati merupakan sifat yang sangat baik bagi setiap orang, dan sifat rendah hati sangat baik bagi mereka yang diberi kekayaan atau diberi amanah menjadi pemimpin. Allahu a'lam.

Sunday, January 1, 2012

Sisi Kemanusiaan Ajaran Islam



Layaknya sebuah agama, Islam memiliki dua dimensi yang kerap diangkat di permukaan. Yaitu sisi individu pengikutnya dengan Tuhan dan sisi sosialnya kepada sesama makhluk-Nya. Sisi Individu biasanya berupa hubungan vertical seorang hamba secara langsung kepada Sang Khalik, sementara dimensi social lebih mengarah kepada bagaimana pengejawantahan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengangkat mengenai pentingnya umat beragama, khususnya umat Islam untuk mengedepankan dimensi social dari ajaran agamanya. Sehingga agama akan kelihatan fungsinya sebagai alat perubahan untuk kesejahteraan umat manusia secara universal.

Dalam ayat Al Qur’an (Al Ma’un: 1-2) misalnya, Tuhan mengutuk orang yang beragama tanpa menghiraukan kondisi lingkungannya, sebagai orang yang telah mendustakan agama. Bahkan Dia – Tuhan mengutus para nabi untuk mengajarkan umatnya masing-masing tentang pentingnya memperhatikan dan mengayomi sesamanya. Maka dalam sebuah hadis yang masyhur, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain”.

Menarik bila kita merenungi sabda nabi di atas. Beliau tidak katakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak rakaat shalatnya. Namun nabi lebih mengarahkan pandangannya kepada kemanfaatan umatnya kepada lingkungan social - kemasyarakatannya. Itu menandakan bahwa yang dimaksudkan oleh nabi adalah manusia yang unggul – manusia yang utama,  yaitu mereka yang banyak berkontribusi untuk kemaslahatan umat manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Di dalam Islam sebenarnya telah memberikan porsi yang sangat besar bagi mereka yang tidak mampu untuk mendapatkan pertolongan dan kasih sayang.  Layaknya manusia lainnya, mereka berhak untuk menikmati fasilitas yang sama yang telah dibentangkan oleh Tuhan di atas muka bumi-Nya ini. Misalnya yang berkaitan dengan Anak Yatim, Al Qur’an menyinggungnya sampai 23 ayat. Yang intinya agar setiap umat Islam mencurahkan kasih sayang, membantu, mendidik serta memeilihara mereka sebagaimana anak-anak mereka sendiri.  Al Qur’an menyebutkanbahwa berbuat baik kepada anak yatim dan dhu’afa merupakan salah satu tanda dari keimanan seseorang. Oleh karena itu, kepedulian terhadap memreka yang membutuhkan pertolongan atau uluran tangan merupakan kewajiban social dalam Islam.

Adalah KH. Ahmad Dahlan, pendiri ormas besar Islam Muhammadiyah di Indonesia, ketika mengkaji dan mengajarkan tentang surah Al Ma’un kepada para santrinya, beliau tak segera pindah ke surah yang lain. Pada hal murid-muridnya merasa sudah menghafal, dan meminta untuk lanjut ke surah berikutnya. Apa jawab Pak Kiai? Baik, kalian memang benar  telah menghafal dan tau maknanya. Tetapi, bukankah sutrah ini memiliki arti khusus? Bahkan bernada mengancam kepada setiap orang yang beragama sebagai “Pendusta Agama” bila menelantarakan anak yatim dan fakir miskin. Apakah ada di antara kita semua yang sudah betul-betul mengamalkan surah Al Ma’un ini? Semuanya terdiam dan tak ada satu pun yang berani menjawab. Betapa pentingnya sebuah tindakan sosial dalam beragama, sehingga KH. Ahmad Dahlan mewanti – wanti kepada para santrinya untuk benar-benar mengamalkan isi dan kandungan dari surah Al Ma’un ini. Karena dengan cara itulah menurut Pak Kiai, umat Islam akan bisa bebas dari ancaman Tuhan sebagai “Pendusta Agama”.

Hampir semua anjuran ibadah dalam Islam mengandung nilai sosial di dalamnya. Misalnya ayat yang mewajibkan ibadah shalat, selalu digandengkan dengan perintah menunaikan zakat. Itu menandakan bahwa ibadah shalat yang sifatnya vertikal, pada akhirnya harus membawa pelaksananya kepada kesalehan sosial, yaitu membantu manusia lain yang kurang beruntung melalui zakat, sedekah dan infak. Selanjutnya, ibadah puasa Ramadhan yang sifatnya sangan indivdual, juga diakhiri atau ditutup dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah (zakat yang diwajibkan bagi setiap orang Islam, kecil maupun tua). Begitu pula, ketika kita melaksanakan perintah ibadah haji, juga diakhiri atau ditutup dengan ibadah qurban (menyembelih hewan qurban) sebagai bukti kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya. Dan ada lagi ibadah-ibadah lainnya yang bisa kita kaji secara mendalam tentang keterkaitan antara ibadah yang sifatnya individual dengan yang sifatnya sosial.

Bisa kita garis bawahi, bahwa berbuat kebajikan terhadap sesama manusia atau kepada makhluk lainnya, sama bobotnya dengan mendirikan shalat, berpuasa, dan menunaikan ibadah haji. Karena essensi dari semua ibadah yang telah dianjurkan oleh Tuhan, akan bermuara kepada penghargaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Di situlah makna penting sabda Nabi Saw. di atas, bahwa “Sebaik-baiknya manusia, adalah mereka yang bermanfaat buat manusia lainnya”.   

Allahu a’lam.