“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS. Al Hujarat:13)
Secara semanti (bahasa) kata takwa berasal dari rumpun kata wiqayah yang berarti: “menjaga diri”. Yaitu menjalin tali cinta kasih kepada Yang Maha Kasih (hablun min Allah). Menjaga diri agar tidak terperosok ke dalam lembah kehinaan, menjaga diri agar selalu dekat denganNya. Atau penjelasan yang pernah diberikan oleh Agust Comte, yaitu Omni Present – yaitu selalu hadirnya Tuhan dalam diri kita. Inilah makna generik dari kata takwa yang selalu diserukan oleh para khatib tiap naik mibar jum’at. Dan menjadi impian setiap orang yang percaya akan adanya Allah sebagai Tuhan yang satau-satunya untuk disembah.
Dalam sebuah hadis Baginda Rasul Saw, menggambarkan dengan bahasa yang sederhana makna takwa ini, beliau mencoba menjelaskannya dengan bahasa keseharian manusia, sebagaimana terungkap lewat hadisnya di bawah ini:
“Pernahkah anda menjumpai jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu? Orang itu menjawab: “Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tiada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur”. Nah, itulah arti takwa, jawab Rasulullah Saw”. (HR. Ibnu Abid dari Abu Hurairah)
Dari keterangan dan bunyi hadis di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa takwa itu adalah usaha yang berkelanjutan dan konsisten (baca istiqomah) agar tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang khaliq, sehingga hati kita akan tetap mengigat-Nya dalam kondisi apa pun. Jadi pengertian mengelak dari tusukan duri, adalah belajar dengan sungguh-sungguh membina konsistensi diri agar tidak merasakan sakitnya tertusuk duri. Maka dalam proses pembinaan diri dan pengendalian hawa nafsunya, manusia membutuhkan petunjuk (hidayah) yang berupa kitab sucinya. Karena fungsi kitab suci (Al Qur’an) yang terpenting adalah sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (QS.2:2). Dalam surat Al Fatihah juga kita diingatkan agar selalu meminta petunjuk kepada Allah berupa jalan yang lurus, yaitu jalan yang mendapatkan keridhaan dari-Nya, dan bukan jalan kesesatan yaitu jalan thagut. Di sinilah mengapa Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita supaya mengelak dari duri tersebut, sehingga tetap berada dalam naungan kasih-Nya (keridhaan-Nya).
Sifat dan Ciri Orang yang Bertakwa
Bagaimana sifat dan ciri orang yang betakwa itu? Dalam sebuah riwayat , seorang sahabat Imam Ali ra. yang bernama Hammam, yang dikenal sebagai seorang ‘Abid (ahli ibadah) bertanya kepaddanya: “Wahai Amirul Mukminin, gambarkanlah untukku sifat dan ciri-ciri kaum muttaqin, sehingga aku seolah-olah memandang kepada mereka”. Mula-mula Imam Ali segan memenuhi permintaan itu, lalu ujarnya: “Wahai Hammam, bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah kebajikan, sebab Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan”.
Mendengar jawaban itu, Hammam belum merasa puas dan mendesak sekali lagi, sehingga Imm ali terpaksa memenuhi permintaan sahabatnya tersebut. Menurut Imam Ali ra. kaum muttakin memiliki sifat-sifat terpuji, sebagai berikut:
1. Kebenaran merupakan inti ucapan mereka. Kata “kebenaran” adalah kata kunci yang menjadi pegangan bagi mereka yang haus akan cinta Rabbnya. Seluruh ucapan dan gerak-geriknya tetap berlandaskan pada kebenaran Illahiah, yaitu kebenaran yang menghantarkan mereka pada tahapan (maqam) yang tinggi di sisi Tuhannya. Orang yang bertakwa selalu mencari dan berusaha dengan sekuat tenaga agar tetap berada dalam naungan kebenaran. Karena Tuhan sendiri adalah “sang Kebenaran Absolut”.
2. Kesederhanaan adalah “pakain” mereka dan kerendahan hati mengiringi gerak langkahnya. Sifat ini banyak dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah Saw., seperti Abubakar ra. yang rela hidup sederhana dan hampir semua harta miliknya dipakai untuk keperluan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Begitu pula Umar bin Khattab ra. dan sahabat-sahabat lainnya. Mereka semua menjadikan kesederhanaan sebagai pakaian kesehariannya . Di samping itu, ketinggian pangkat dan semakin banyaknya ilmu, tidak membuat mereka lalu lupa diri, apalagi melupakan Tuhannya. Mereka tetap rendah hati walaupun bergelimangan dengan harta, karena mereka tahu bahwa harta dan kedudukan bukan menjadi tujuan hidupnya. Seluruh waktunya dimanivestasikan dalam bentuk penghambaan kepada Tuhan yang telah menghadirkan mereka di muka bumi.
3. Menggunakan pendengaran mereka hanya untuk mendengarkan ilmu yang bermanfaat. Allah menciptakan seluruh anggota badan ini, tiada lain agar manusia bisa memanfatkannya kepada hal-hal yang terpuji. Yaitu kepada urusan yang membawa kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Bukan sebaliknya dipakai untuk menghancurkan dan membawa prahara bagi diri dan orang lain. Pendengaran adalah salah satu organ tubuh yang dianggap mampu menangkap pesan-pesan Illahiah, pesan kedamaian, pesan keharmonisan, pesan ketakwaan, dan pesan-pesan lain yang penuh makna di dalamnya. Dari anggota tubuh ini tumbuh kepekaan nurani yang membuat manusia selalu merindukan Tuhannya. Semua yang ia dengar berubah menjdi kalam atau firman suci dari Tuhannya. Yang kemudian melahirkan rasa cinta yang mendalam atau penghargaan yang tiada tara. Pada taraf inilah orang-orang yang bertakwa mampu mendapatkan ilmu yang sangat mendalam (al hikmah), yang membuat hati mereka selalu terpaut dengan lautan cinta Sang Maha Kasih.
4. Sabar dalam mengahadapi cobaan, begitu pula dalam menerima kenikmatan dari Tuhannya. Jiwa orang yang bertakwa selalu diliputi dengan ketenangan dalam menghadapi cobaan hidup, begitu pula ketika menerima nikmat dari Allah. Sungguh agung Sang Pencipta dalam hati mereka, sehingga apa saja selain Dia, menjadi kecil sekali dalam pandangannya. Begitu kuatnya keyakinan mereka tentang syurga, sehingga mereka merasakan kenikmatannya seolah-olah telah melihatnya. Dan begitu kuat keyakinan mereka tentang neraka, sehingga mereka merasakan azabnya dan mereka berusaha menghindar darinya. Hati mereka selalu diliputi kekhusyu’an. Mereka selalu menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong di sisi Tuhannya, karena mereka yakin bahwa orang-orang yang sabar akan bersama dengan Tuhannya. (QS.2:153).
5. Mencintai Al Qur’an, sehingga mereka membaca dan mengamalkan kandungannya setiap saat. Di malam hari, mereka bangun untuk menjalin hubungan sembunyi dengan Tuhannya (tahajjud), membaca ayat-ayat tentang kebesaran Tuhannya dan menjadikan Al Qur’an sebagai penawar bagi segala penderitaannya. Mereka menjadikan kita sucinya sebagai media yang agung untuk berdialog dengan Sang Maha Kasih, yaitu Allahu Jalla Jalaaluhuu (Dzat Yang Maha Agung dan tiada duanya di alam raya ini). Dengan membaca Al Qur’an, mereka mengkhususkan dirinya untuk menjadi hamba Allah yang baik, yaitu orang yang cinta perdamaian, mencintai sesama tanpa melihat perbedaan warna dan latar belakangnya dan bahkan mencintai semua makhluk Tuhan di bumi.
6. Teguh dalam menjalankan Agamanya. Keseharian mereka, tampak keteguhan yang penuh dengan keseriusan dalam menjalankan agama Allah (Al Islam). Mereka selalu patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya. Senantiasa menjaga keimanan dan berusaha untuk komit terhadap perjanjian awalnya di alam arwah dulu. Yaitu akan selalu menyembah Allah sebagai Tuhan satu-satunya, tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Mereka mengerjakan amal-amal shaleh tanpa kenal lelah dan selalu ihlas dalam beribaah kepada Tuhannya. Nafsu mereka selalu terjaga terhadap perbuatan-perbuatan yang tercela dan nista, karena mereka sadar bahwa perbuatan tersebut akan membawa mereka terperosok ke dalam jurang kesengsaraan.
7. Suka meminta dan memberi maaf kepada sesamanya. Sifat atau ciri ini, bisa dibilang sifat yang jarang dimiliki oleh orang yang hanya mengaku ber-Islam, alias tidak semua orang yang beragama Islam memiliki sifat ini. Misalnya, ada orang yang mau meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya kepada kita, kadang-kadang masih banyak di antara kita yang senang memilihara dendam kesumat, ketimbang membuka hati untuk memaafkannya. Atau sebaliknya, kita juga begitu susahnya untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah kita perbuat terhadap saudara kita lainnya. Hal ini biasanya terjadi karena kita masih memiliki ke-aku-an (ego) dalam diri kita. Merasa bahwa kita adalah yang terbaik dari orang lain, yaitu merasa malu, hina, rendah, kalau seandainya meminta maaf duluan kepada saudara sendiri. Terlebih lagi kepada orang yang lebih rendah strata sosialnya. Rasulullah Saw. sebagai tauladan kaum muttaqin, adalah figur yang pantas untuk diikuti dalam hal ini. Betapa tidak, dengan kedudukannya yang begitu tinggi, sebagai Nabi dan Rasul, pemimpin umat, bahkan sebagai kekasih Allah, beliau tidak pernah sombong, angkuh, apalagi berbuat sewenang-sewenang terhadap orang yang lemah (kaum mustadh’afin). Saking cintanya kepada manusia, tidak tersisa sedikit pun rasa benci dan dendam dalam dirinya terhadap musuh-musuhnya. Sifat seperti ini, terlihat jelas ketika beliau diludahi, dilempari dengan kotoran unta, dicaci maki, bahkan beberapa kali diancam untuk dibunuh oleh para musuhnya, namun tidak menjadi alasan untuk membalas dengan perilaku yang setimpal, apalagi meminta dukungan untuk menghancurkan mereka. Karena Nabi sadar betul akan tujuan kehadirannya di bumi, yaitu sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Inilah tujuh ciri utama mereka yang bertakwa yang digambarkan oleh Imam Ali ra. kepada Hammam. Dan bagi kita yang ingin menggapai taraf – maqam - ketakwaan seperti ini, maka sudah barang tentu harus dengan sungguh-sungguh menjalankan apa yang sudah diuraikan di atas. Semoga dengan cara ini kita akan bisa menggapai “Cinta Illahi” dengan penuh keridhaan dari-Nya. Allahu a’alum.