Anak-anak Sekolah Rakyat Bogor dalam kegiatan belajar/DokNun
jauh di sana, lahir seorang anak bertubuh mungil dengan bakat yang tak
bisa diremehkan. Bima merupakan tempat anak ini tumbuh besar—tepatnya di
daerah Rasabao, Nusa Tenggara Barat. Rasabao sendiri artinya adalah
Kampung Baru.
Di kampungnya, anak ini digembleng menjadi seorang yang cukup dekat dengan agama Islam. Bahkan, ada istilah bahwa ‘maling
pun harus bisa mengaji.’ Berkat itu pula, kampungnya tak pernah sepi dari suara mengaji—terutama saat waktu Maghrib tiba.
Ia adalah Munawar M. Ali. Laki-laki yang penuh semangat membara jika
sedang berbicara pendidikan. Hal ini berkat semangat yang terbentuk di
masyarakat kampungnya tentang pendidikan. Di mana hampir semua orang tua
mengharuskan anak-anaknya untuk sekolah yang tinggi. Sekali pun harus
berhutang untuk biaya pendidikan.
Besar di keluarga yang cukup relijius, Munawar kecil merupakan anak
yang diimpikan oleh ayahnya untuk menjadi Qori Internasional.
Prestasinya dalam dunia Qori dimulai sedari ia menjadi Qori Nasional
termuda di Indonesia pada tahun 1988. Saat itu umurnya genap menginjak
usia 14 tahun.
Dari ambisi ayahnya, ia kemudian ditempatkan di Perguruan Tinggi Ilmu
Quran di Jakarta. Namun, tak bertahan lama—setahun setelah itu, ia
akhirnya memutuskan untuk keluar dari kampus itu. Alasannya, kampus
tersebut tidak menyediakan wadah yang luas untuk bekreasi.
“Cuma saya memang tidak terlalu
sreg dengan PTIQ. Tidak
terlalu semangat lihat kampus. Kampusnya kurang menghidupkan anak-anak
untuk belajar,” jelas Munawar saat ditemui
TNOL di Jakarta Selatan, Kamis 27 Februari lalu.
Keputusannya untuk keluar dari PTIQ harus dibalas dengan
konsekuensinya menganggur selama lima tahun lamanya. Tapi, selama
menganggur dirinya tetap aktif di berbagai seminar dan tempat kursus.
Salah satunya—Al-Manaf—tempat kursus Bahasa Arab yang dimiliki Anis
Matta.
Berkat kecerdikan dan bakatnya dalam mengaji, ia juga akhirnya mengabdikan diri untuk menjadi guru ngaji di beberapa rumah.
“Ngajar mengaji itu kadang saya jalan kaki,” kenang Munawar. Ia
menuturkan setidaknya ada lima rumah yang ia singgahi untuk mengajar
ngaji. Tiap rumah itu ia diberi gaji Rp 50-100 ribu rupiah per bulannya.
“Gaji
ngajar mengaji itu untuk kuliah,” ucap Munawar. Akhirnya
di tahun 1998 ia memutuskan kembali ke bangku pendidikan lewat tabungan
yang dimiliki saat menjadi guru mengaji.
“Saya masih ingat, tabungan saya tiga juta lima ratus. Alhamdulilah,
dari uang ini saya tabung untuk melanjutkan kuliah di Universitas
Muhammadiyah Jakarta jurusan Pendidikan Tarbiyah,” cetusnya.
Potret kehidupan yang pahit
Sewaktu Munawar menginjak masa Aliyah, ia memiliki kegiatan rutin
tiap minggunya. Munawar yang tinggal di rumah bibinya sembari sekolah
itu, harus pulang ke kampung untuk mengambil kayu bakar dan beras tiap
minggunya sebagai bekal dia tiap harinya di sana.
“Kami punya kebiasaan tiap hari minggu ambil kayu bakar di gunung.
Karena hampir semua masyarakat memasak dengan kayu bakar,” cerita
Munawar yang jarak antara rumah bibinya dan kampungnya berkisar 40
Kilometer.
Di keluarganya, ia sudah terbiasa makan tanpa lauk. Sekali pun ada
lauk, itu harus dibagi sama rata. Karena gaji ayahnya sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) tidak mencukupi menutupi sembilan anaknya.
“Saya ingat biasanya ayah sering memberi tahu kita sebagai
anak-anaknya untuk makan pakai garam. Itu terjadi berhari-hari—tidak ada
lauk. Salah satu yang menarik, yaitu makan pakai telur satu dibelah
empat atau lima,” tutur Munawar yang kerap kali mendapat sumbangan beras
dari kakak pertamanya, Nuraeni.
Hal itu pula yang membuat Munawar memutuskan untuk merantau ke
Jakarta—cukup tahan untuk tidak makan di Ibu Kota. Baginya, itu
merupakan sebuah kisah hidup dan pelajaran penting. Ia mengungkapkan
bahwa pahit merupakan potret hidupnya. “Pahit sudah biasa dari potret
hidup saya,” kenang Munawar.
Satu hal yang biasa ia amini dalam hidup yaitu perkataan Bunda
Theressa, ‘kalau ingin menjadi orang besar, hargailah orang
miskin—bahkan termiskin sekali pun’. Itu yang kemudian mengilhami
Munawar untuk membuat suatu perubahan di salah satu daerah di Bogor.
Munawar juga menyontohkan perkataan dari Kiyai di film ‘Sang
Pencerah’ bahwa orang besar adalah orang-orang dengan ilmu yang
dimiliki. Rela membaktikan dirinya memberi pengajaran kepada anak-anak
di gunung, kolong jembatan dan tidak punya akses pendidikan. “Besar itu
memiliki kapasitas untuk membantu banyak orang,” kata Munawar.
Sekolah Rakyat
Sebuah momentum penting bagi hidupnya saat ia mulai memutuskan untuk
bergelut di pembangunan dunia pendidikan. Awalnya, ia mulai membuat
sebuah sekolah di Desa Tangil, Bogor.
“Banyak sekali anak-anak perempuan nikah di usia dini. Selain itu, anak-anak lainnya juga tidak bersekolah,” cerita Munawar.
Dengan melihat kondisi masayarakat seperti itu, pada tahun 2002
Munawar dengan teman-temannya berinisiatif untuk membuat sekolah gratis.
Mulanya, mereka belum mempunyai gedung untuk menampung anak-anak. Namun
itu teratasi, sesaat setelah mencoba mendekati sebuah yayasan untuk
meminjamkan gedungnya—Daarul Funun.
Awalnya, Sekolah Rakyat ini menerima 35 anak untuk bersekolah di
tingkat Sekolah Menengah Pertama. Setelah itu, perkembangannya cukup
pesat. Ia mengadakan Jambore Sekolah Rakyat se-Bogor.
“Akhirnya teman-teman pada ngumpul. Kemudian tercetus gagasan untuk
memformalkan lembaganya menjadi Yayasan Sekolah Rakyat Bogor,” kata
Munawar yang mengatakan Sekolah Rakyat sudah berkembang di 23 titik di
Kabupaten Bogor.
Kegiatan sosial ini kemudian tercium oleh pengelola Sekolah Rakyat
Indonesia. Munawar kemudian berinisiatif mengundang Sekolah Rakyat
Indonesia untuk bertemu di Panji Masyarakat yang sempat menjadi kantor
Munawar.
“Awalnya saya diminta untuk jadi mitra di titik Bogor. Kemudian saya
dipercaya untuk menjadi koordinator Kabupaten Bogor,” cerita Munawar
yang menuturkan sekarang sudah ada 20 kabupaten yang ikut mendirikan
Sekolah Rakyat di daerahnya.
Hambatan Sekolah Rakyat Bogor
Mereka adalah 'mutiara' yang siap bersinar Memulai
sesuatu yang asing memang membutuhkan perjuangan dalam menghadapi
rintangannya. Tak terkecuali pembentukan Sekolah Rakyat di Bogor.
“Hampir setiap kali kami membuka TKBM (Tempat Kegiatan Belajar Mandiri),
Halangan yang luar biasa datang dari pihak informal leader—tokoh
masyarakat,” kata Munawar.
Ia beralasan, Bogor yang masih beranggapan sebagai wilayah
pesantren—sehingga anggapan beberapa Kyai Ajengan bahwa sekolah yang
diakui hanya pesantren dan mengajar Al-Quran. “Jadi yang kita alami
adalah para Ajengan tidak merestui. Itu pun karen mereka belum paham dan
saling kenal,” kata Munawar.
“Dalam teori perubahan kan ada
defends-nya. Tapi kami sadar
betul, teman-teman kita kasih pemahaman bahwa itu sebenarnya sesaat
saja,” kata Munawar yang akhirnya mendapatkan dukungan mereka pada
program Sekolah Rakyat ini.
Munawar menjelaskan bahwa biasanya ia dan teman-temannya sebelum
melakukan TKBM mengajak obrol terlebih dahulu RT, RW dan kelurahan
setempat. Jika mereka setuju, maka akan ada pembekalan calon wali murid
dari Munawar.
“Penyuluhannya tentang pendidikan untuk anak-anak mereka. Jadi tidak
selamanya anak-anak yang disuruh sekolah merugikan orang tua,” kata
Munawar yang beralasan, biasanya para orang tua beranggapan anak-anak
yang sekolah tidak bisa membantu orang tua di ladang untuk menghasilkan
uang.
Namun, hal itu lama kelamaan mulai menghilang. Banyak orang tua yang
paham akan pentingnya dunia pendidikan bagi anak-anak mereka. “Banyak
teman-teman yang numpang sekarang banyak yang membangun gedung karena
dikasih tanah wakaf,” Munawar meyakinkan.
Munawar sendiri menuturkan bahwa ciri perubahan berkaitan dengan
manusia itu sendiri, tiga diantaranya yakni; Orang yang belum apa-apa
sudah bertahan. Bahkan dia memasang badan untuk tidak boleh; Ada orang
yang ‘oke
gue akan bantu’ tapi itu sebatas omongan; Ada orang
yang membela mati-matian. Orang ini biasanya akan menghadapi semua jenis
rintangan yang dihadapi.
“Untuk menemukan orang yang tipe ini tidak mudah. Kalau bahasa saya
‘kiriman Tuhan’,” kata Munawar yang beralasan bahwa orang ini biasanya
datang ketika ia kehabisan akal.
Selain itu, ia juga sering menghadapi masalah dengan sekolah
induk—salah satunya saat pemberian Dana BOS (Biaya Operasional Sekolah)
dari pemerintah. Munawar mengatakan bahwa beberapa sekolah induk belum
memahami arti sekolah mandiri Sekolah Rakyat.
“Yang dimaksud mandiri itu adalah terbentuknya sekolah gratis dari
masyarakat. Bukan biayanya yang mandiri,” jelas Munawar yang mengatakan
Sekolah rakyat merupakan program pemerintah.
Ia menuturkan, adanya Sekolah Rakyat merupakan kepanjangan dari
pemerintah untuk meyediakan pendidikan kepada yang masyarakat yang
tinggal di pedalaman. “Undang-Undang sisdiknas (sistem pendidikan
nasional) memberikan garansi pada kami untuk begerak di lapangan,”
katanya menjelaskan.
Masalah sumber daya manusia untuk mengajar juga merupakan masalah
yang dialami oleh Munawar saat permulaannya. Pada akhir tahun 2006 ia
kemudian
on air di Radio Republik Indonesia (RRI) dalam
mengampanyekan Sekolah Rakyat Bogor. Berkat itu, banyak para warga di
daerah lain—terutama Jakarta—mengkhususkan dirinya datang ke Sekolah
Rakyat Bogor untuk menjadi pengajar.
Munawar mengungkapkan bahwa Sekolah Rakyat Bogor juga tidak
berlandaskan pada uang. Sehingga, para pengajar yang datang pun sukarela
membantu. Namun, terkadang ia menemukan para pengajar yang meminta uang
transportasi.
“
Kalo orang bergerak karena uang, biasanya mereka
gak tahan lama,” kata Munawar menanggapi permasalahan itu.
Berbuat nggak harus jadi orang kaya
Munawar pendiri Sekolah Rakyat di Bogor/Foto: KahfiKegiatan
sosial itu biasanya akan bertahan dari tahun pertama sampai dengan
tahun kelima. Itu pula yang melandaskan Munawar dalam Sekolah Rakayt
Bogor ini. “Di tahun itu (satu sampai dengan lima) gangguannya banyak.
Kalau gak sabar, ya kabur,” Munawar meyakinkan.
Ia menambahkan tidak mudah bergerak di bidang sosial. Banyak teman-temanya yang mengatakan, ‘kok hebat banget,
begrekan di bidang sosial. Bukannya kalau mau bergerak di bidang sosial harus kaya dulu’.
Menanggapi hal tersebut, munawar menjawabnya dengan santai, “Saya jawabnya gampang,
kalo nunggu kaya dulu. Kapan bergeraknya. Apakah ada jaminan, Munawar jadi orang kaya,” ujarnya bertanya.
Ia mengatakan bahwa kaya itu terminologinya banyak. Kaya ilmu, kaya jiwa, kaya spiritual, kaya harta—semua itu bagian dari kaya.
Ia mengatakan, bahwa apakah orang kaya punya kepekaan sosial dan
kemauan tinggi. Ia menambahkan banyak orang kaya, namun tidak memiliki
kepekaan sosial dan empati sosial. “Di negeri ini banyak orang kaya,
tapi gak punya empati sosial,” kata Munawar.
Ia menjelaskan bahwa kegiatannya ini mencoba menyentuh hati mereka.
“Kenapa Umar mau membantu orang? Karena ada Muhammad yang menyentuhnya.
Kenapa Abu Bakar menjadi orang dermawan, karena ada Muhammad yang
menyentuhnya,” Munawar menyontohkan.
Menurutnya, masing-masing manusia ada pembagian tugasnya. Jadi,
kalo
paradigma ‘nunggu kaya raya dulu harus bisa berbuat’ itu merupakan hal
yang keliru. Ia menyontohkan lagi bagaimana Bunda Theressa bilang ke
Lady Di untuk mengenal Tuhan.
“Bunda Theressa mengajarkan untuk mencintai orang-orang atau anak anak yang
gak makan, terlantar di pinggir jalan. Dia tidak pernah mengatakan ini
lho
Tuhan. Tapi Bunda Teresa paham betul, bahwa jelmaan Tuhan di bumi
adalah orang miskin,” contoh Munawar. Ia menambahkan, itu pula yang
dikatakan oleh Nabi Muhammad dan Ibrahim.
Anak-anak penuh semangat
Banyak yang tidak paham bahwa Sekolah Rakyat merupakan bagian dari
sekolah negeri. Bedanya, hanya kelasnya yang terletak di gunung. “Kita
punya nis (nomor induk siswa), raport dan mereka ikut Ujian Nasional.
Ijazahnya adalah dari induk,” Munawar meyakinkan.
Ia menyontohkan lewat TKBM amanah batasa yang berada di Caringin.
Induknya ada di SMPN 1 Cigombong. Jadi SMP 1 Cigombong inilah yang akan
mengeluarkan ijazahnya. Mereka juga tercatat namanya di SMPN1 Cigombong.
Mereka semua terjamin. Makanya Munawar selalu membesarkan jiwa mereka dengan kata-kata, “kalian
tuh sama dengan anak-anak yang di kota.” Harapannya agar anak-anak tidak minder dan seperti di bawah.
Awal dibukanya sekolah ini, anak-anak muridnya banyak yang malu
menatap muka orang yang baru mereka kenal. Biasanya mereka selalu
menunduk. Namun, hal itu dengan cepat teratasi lewat program yang
dilakukan oleh Sekolah Rakyat Bogor.
“Mereka punya mimpi besar jadi dokter, pengusaha besar. Kita selalu
mengakomodirnya lewat program rutin kelas profesi,” ujar Munawar. Jadi,
Munawar menambahkan ada beberapa profesi yang dihadirkan ke kelas-kelas.
“Misal, ingin jadi polisi, kita hadirkan polisinya. Lengkap dengan
seragam dan materi yang mereka punya,” Munawar menyontohkan. Ia
mengungkapkan kelas ini berguna agar ilmunya dapat dengan cepat terserap
di otak para anak-anak.
“Esensinya adalah ilmu yang disampaikan pada anak-anak itu langsung
menempel ke otak kanan. Kalau mengantarkan jadi orang suskes, kasih
coaching,” kata Munawar yang percaya bahwa cara belajar seperti itu sangat cepat.
Belajar itu sendiri seperti yang dilontarkan Socrates dan Plato
merupakan mengulang kembali yang ada di dalam diri kita. “Kenapa kita
berani membetulkan pernyataan orang lain. Jawabannya, karena memang
sudah ada dalam diri kita,” kata Munawar.
Belajar merupakan kegiatan mengulangi yang ada di dalam diri setiap
orang. Jadi, sambung Munawar, jika memakai terminologi ini, tidak ada
anak yang bodoh. Dari terminologi itu, sangat jelas bahwa manusia
memiliki potensi yang sama untuk maju.
“Semua berpotensi jadi mutiara. Kalau mau mutiaranya bersinar, ya
lumpurnya dihilangin. Manusia adalah mutiara yang sesungguhnya.
Pendidikan punya tugas untuk mengasah mutiara kecil agar berkilau dan
bersinar,” ungkap Munawar meyakinkan
.(Sbh)